STOCKWATCH.ID (NEWYORK) – Harga minyak mentah dunia melonjak lebih dari US$1 pada akhir perdagangan Jumat (11/4/2025) waktu setempat atau Sabtu pagi (1024/2025) WIB. Kenaikan ini terjadi setelah Amerika Serikat mengisyaratkan kemungkinan menghentikan ekspor minyak Iran.
Pernyataan itu disampaikan langsung oleh Menteri Energi AS, Chris Wright. Ia menyebut langkah ini sebagai bagian dari tekanan terhadap Iran agar bersedia kembali berunding soal program nuklirnya.
Mengutip CNBC International, harga minyak mentah berjangka Brent tercatat naik US$1,43 atau 2,26%, menjadi US$64,76 per barel, di London ICE Futures Exchange.
Adapun harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) menguat US$1,43 atau 2,38%, mencapai US$61,50 per barel, di New York Mercantile Exchange.
“Jika ekspor minyak Iran benar-benar ditekan, maka pasokan minyak dunia akan menurun,” kata Andrew Lipow, Presiden Lipow Oil Associates. Ia menambahkan, “Saya menduga China tetap akan membeli minyak dari Iran.”
Komentar Wright ini menjadi sentimen positif bagi harga minyak yang sebelumnya sempat bergejolak sepanjang pekan. Ketegangan geopolitik kembali jadi perhatian utama pasar.
John Kilduff dari Again Capital bilang bahwa pasar kini melihat AS sebagai sumber risiko geopolitik yang baru. “Kita akan melihat pergeseran kekuatan global seperti yang terjadi setelah Rusia menyerang Ukraina,” ujarnya.
Ketegangan antara AS dan China juga memanas. China resmi menaikkan tarif impor atas barang AS menjadi 125% mulai Sabtu, naik dari sebelumnya 84%. Langkah ini merupakan balasan atas kebijakan Presiden Donald Trump yang sehari sebelumnya menaikkan tarif barang China menjadi 145%.
Trump memang sempat menunda penerapan tarif untuk beberapa negara lain selama 90 hari. Tapi, kerusakan di pasar sudah terlanjur terjadi.
“Walau penundaan diberlakukan, pasar sudah keburu terpukul. Harga minyak kesulitan untuk kembali stabil,” kata Ole Hansen, Kepala Strategi Komoditas Saxo Bank.
Lembaga Informasi Energi AS (EIA) juga ikut menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global. Mereka memperingatkan bahwa perang dagang bisa memberi tekanan berat pada permintaan minyak.
EIA memangkas proyeksi permintaan minyak untuk AS dan global, baik tahun ini maupun tahun depan.
Pertumbuhan ekonomi China juga diperkirakan melambat pada 2025. Hal ini terungkap dalam survei Reuters, yang menyebut tarif AS jadi penyebab utama tekanan terhadap negara importir minyak terbesar dunia itu.
Bahkan, PBB memperingatkan bahwa dampak dari tarif ini bisa “katastrofik” bagi negara-negara berkembang.
Daniel Hynes, analis komoditas senior ANZ Bank, menambahkan konsumsi minyak bisa turun 1% jika pertumbuhan ekonomi dunia melambat di bawah 3%.
