STOCKWATCH.ID (WASHINGTON) – Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah pada akhir perdagangan Rabu (21/5/2025) waktu setempat atau Kamis pagi (22/5/2025) WIB. Dolar turun terhadap sejumlah mata uang utama dunia. Pelemahan ini sudah berlangsung selama tiga hari berturut-turut. Pasar khawatir dengan rencana pemotongan pajak dan belanja yang diajukan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump. Investor masih belum yakin bagaimana dampak nyata dari kebijakan tersebut terhadap ekonomi AS. Hal inilah yang memicu tekanan terhadap dolar.
Mengutip CNBC International, pelemahan dolar terjadi setelah pertemuan Presiden Trump dengan anggota Partai Republik di DPR AS pada Selasa lalu gagal menghasilkan dukungan penuh terhadap RUU pajak tersebut. Sejumlah politisi garis keras Republik masih menolak karena menilai rencana itu belum cukup memangkas belanja negara.
Ketua DPR AS, Mike Johnson, mengatakan bahwa penolakan dari internal partai masih terjadi. “Anggota konservatif masih berargumen bahwa RUU ini belum cukup memotong pengeluaran,” ujarnya.
Di tengah ketidakpastian itu, euro menguat 0,5% terhadap dolar dan diperdagangkan di level US$1,1339. Euro sempat menyentuh level tertingginya dalam dua pekan terakhir.
Eugene Epstein, Kepala Perdagangan dan Produk Terstruktur Moneycorp Amerika Utara, menyebut kondisi ini sebagai pergeseran umum dari aset aman asal AS, selain saham. “Bahkan sebelum RUU ini, rasio utang terhadap PDB kita sudah memburuk. Pengeluaran kita melebihi pertumbuhan,” katanya.
Analisis independen memperkirakan bahwa RUU pajak versi Trump bisa menambah utang nasional AS sebesar US$3 triliun hingga US$5 triliun.
Pasar juga mewaspadai kemungkinan pemerintah AS sengaja melemahkan dolar untuk keuntungan dalam kesepakatan dagang bilateral. Dugaan ini muncul seiring pertemuan menteri keuangan negara-negara G7 yang sedang berlangsung di Kanada.
Sementara itu, perang tarif global yang sempat mengguncang pasar mata uang belakangan ini mulai mereda. Meski demikian, batas waktu 90 hari penangguhan tarif untuk mitra dagang AS makin dekat, sementara kesepakatan baru belum juga tercapai.
Optimisme terhadap keberlanjutan perdagangan masih ada, tapi pembicaraan dengan sekutu seperti Jepang dan Korea Selatan tampak kehilangan momentum.
Semua faktor ini menambah tekanan terhadap dolar AS. Imbal hasil obligasi pemerintah AS pun ikut naik, menandakan investor cenderung menjauh dari aset-aset AS.
Yen Jepang juga menguat terhadap dolar. Dolar turun 0,6% ke level 143,64 yen. Penguatan ini didukung oleh lonjakan imbal hasil obligasi Jepang, terutama obligasi jangka panjang yang naik tajam usai hasil lelang yang buruk pada Rabu.
Kenaikan imbal hasil Jepang ini menambah kekhawatiran soal penjualan utang di masa depan. Kenaikan juga dipicu oleh isu stimulus fiskal menjelang pemilu majelis tinggi Jepang pada Juli mendatang.
Lelang obligasi AS tenor 20 tahun yang dijadwalkan pada Rabu waktu setempat diperkirakan jadi penentu minat pasar terhadap utang jangka panjang AS.
Analis Forex.com, Fawad Razaqzada, menyebut penguatan imbal hasil Jepang telah mempersempit selisih dengan obligasi AS. “Ini mengurangi insentif untuk memegang dolar,” tulisnya dalam email kepada investor.
Ia menambahkan bahwa pasangan mata uang dolar/yen kini berada dalam posisi rentan. “Pasangan ini sempat menguat ke level 140,00, tapi tampaknya kembali melemah.”
Yen, bersama aset safe haven seperti franc Swiss dan emas, juga mendapatkan dorongan dari laporan CNN. Media tersebut menyebut intelijen AS mengindikasikan Israel tengah bersiap menyerang fasilitas nuklir Iran.
Sementara itu, penurunan peringkat utang AS oleh Moody’s pada Jumat lalu memang tak banyak menggerakkan pasar, namun ikut memperkuat sentimen negatif terhadap dolar. Saat ini, dolar tercatat melemah terhadap semua mata uang utama sepanjang tahun ini.
Investor juga menanti hasil pertemuan antara Menteri Keuangan Jepang, Katsunobu Kato, dengan Menteri Keuangan AS, Scott Bessent. Kato menegaskan bahwa pembicaraan nilai tukar nanti akan mengacu pada kesepahaman bahwa volatilitas yang berlebihan perlu dihindari.
Di sisi lain, pound sterling menguat ke level tertingginya sejak Februari 2022. Kenaikan ini terjadi setelah inflasi konsumen Inggris pada April tercatat lebih tinggi dari perkiraan, sehingga mengurangi peluang pemangkasan suku bunga oleh Bank of England dalam waktu dekat.