STOCKWATCH.ID (WASHINGTON) – Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) melemah terhadap sebagian besar mata uang utama pada akhir perdagangan Senin (2/6/2025) waktu setempat atau Selasa pagi (3/6/2025) WIB. Melemahnya dolar terjadi setelah kekhawatiran soal kebijakan tarif Presiden Donald Trump kembali mencuat.
Mengutip CNBC International, pelemahan ini menghapus penguatan yang dicetak dolar pada pekan sebelumnya. Pasar mulai menimbang dampak lanjutan dari rencana Trump yang akan menggandakan tarif baja dan aluminium menjadi 50% mulai Rabu.
Komentar keras juga datang dari pihak China. Kementerian Perdagangan China menyebut tuduhan AS sebagai “tidak berdasar” dan menyatakan akan mengambil langkah tegas untuk melindungi kepentingannya.
Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, menyampaikan bahwa Trump dan Presiden China Xi Jinping kemungkinan akan mengadakan panggilan dalam waktu dekat. “This will be ironed out,” kata Bessent pada Minggu.
Michael Brown, analis pasar di Pepperstone London, menyebut tekanan jual terhadap dolar terjadi secara luas. Ia menjelaskan, setiap kali muncul kekhawatiran baru soal tarif, pelaku pasar langsung kembali ke strategi “jual Amerika”.
Menurutnya, kondisi seperti ini sudah sering terjadi dan mencerminkan reaksi pasar yang sensitif terhadap isu perdagangan.
Dolar AS merosot hampir 2% terhadap yen Jepang ke level 142,79. Penurunan ini nyaris menghapus seluruh penguatan dolar terhadap yen yang terjadi minggu lalu.
Sementara itu, euro menguat 0,8% ke posisi US$1,1437. Ini menjadi level tertinggi sejak akhir April. Pasar kini menanti keputusan suku bunga dari Bank Sentral Eropa akhir pekan ini.
Dolar terus melemah setelah data menunjukkan sektor manufaktur AS mengalami kontraksi selama tiga bulan berturut-turut hingga Mei. Waktu pengiriman barang juga melambat karena tarif, yang bisa memicu kekurangan pasokan dalam waktu dekat.
Di sisi lain, data menunjukkan manufaktur Eropa mulai menunjukkan tanda-tanda stabilisasi, meski aktivitas pabrik di Asia masih menurun.
Indeks dolar AS, yang mencerminkan kinerja terhadap enam mata uang utama, turun 0,6% ke 98,73. Angka ini mendekati posisi terendah tiga tahun di 97,923 yang terjadi akhir April.
Selama beberapa pekan terakhir, dolar AS terus bergejolak karena perang dagang yang tak menentu. Ketegangan ini juga memicu kekhawatiran akan potensi resesi di Amerika Serikat.
Pekan lalu, dolar sempat menguat 0,3% setelah pembicaraan dagang dengan Uni Eropa kembali berjalan dan pengadilan perdagangan AS sempat memblokir sebagian besar tarif Trump. Namun, keputusan itu dibatalkan oleh pengadilan banding keesokan harinya.
Pemerintah AS mengatakan masih memiliki cara lain untuk menerapkan kebijakan tarif tersebut, meski banyak analis menilai kasus ini menunjukkan bahwa kekuasaan presiden masih memiliki batas.
Kekhawatiran fiskal juga mendorong tren “sell America” di pasar, menyebabkan aset dolar seperti saham dan obligasi pemerintah ikut merosot dalam beberapa bulan terakhir.
Sorotan pasar kini tertuju pada pembahasan RUU pemotongan pajak dan belanja pemerintah di Senat. RUU tersebut diperkirakan akan menambah utang federal sebesar US$3,8 triliun dalam sepuluh tahun ke depan, di tengah total utang pemerintah AS yang sudah mencapai US$36,2 triliun.
Menurut analis dari Barclays, bagian S899 dalam rancangan undang-undang tersebut bisa jadi bagian paling krusial. Mereka menilai pasal ini memberi kebebasan penuh bagi Amerika Serikat untuk mengenakan pajak kepada perusahaan dan investor dari negara yang dianggap menerapkan pajak asing yang tidak adil.
Barclays menyebut, aturan ini bisa dilihat sebagai bentuk pajak terhadap akun modal AS. Hal ini muncul di saat kekhawatiran investor terhadap aset-aset Amerika Serikat sedang meningkat.
Di sisi lain, mata uang zloty Polandia melemah ke level terendah dua minggu terhadap euro setelah kemenangan tokoh euroskeptik Karol Nawrocki dalam pemilihan presiden. Hal ini memicu ketidakpastian di pasar Eropa Timur.
Sementara itu, harga Bitcoin turun 0,5% ke level US$104.316 dalam perdagangan hari ini.