Kamis, Agustus 21, 2025
33.9 C
Jakarta

Aset Asuransi RI Tembus Rp1.163 Triliun Mei 2025, Masih Kalah Jauh dari ASEAN?

STOCKWATCH.ID (JAKARTA) – Industri asuransi Indonesia dinilai masih jauh tertinggal dibanding negara-negara tetangga. Aset perusahaan asuransi hanya setara 5,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini jauh di bawah rata-rata ASEAN yang mencapai 15%. Bahkan, sangat tertinggal dari Singapura yang nyaris menyentuh 70%.

Hal ini disampaikan oleh Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar, dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, Senin (30/6/2025). Ia menjelaskan bahwa total premi asuransi per tahun di Indonesia masih di bawah 3% dari PDB. Padahal negara-negara ASEAN rata-rata berada di kisaran 3-5%, malah Singapura di atas 10%.

Kondisi ini menunjukkan kualitas dan cakupan perlindungan terhadap risiko kesehatan masih sangat terbatas. Kajian regional menyebutkan protection gap di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia, mencapai US$886 miliar pada 2022. Artinya, perlindungan asuransi masih belum merata, terutama untuk risiko kesehatan, bencana alam, hingga penyakit kritis.

Di forum yang sama, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, menjelaskan ada lima area besar yang mengalami protection gap. Area tersebut adalah bencana alam, kematian, risiko siber, kesehatan, dan tabungan pensiun.

“Indonesia masuk ring of fire. Jadi kalau ada bencana alam, kerugian yang ditimbulkan sangat besar, tapi proteksinya masih rendah,” ujar Ogi.

Ia juga menyebut jika seseorang meninggal dunia, keluarga yang ditinggalkan bisa mengalami defisit perlindungan. Di sisi lain, tabungan pensiun di Indonesia masih sangat rendah, hanya 10% dari penghasilan aktif. Padahal menurut ILO, seharusnya minimal 40% agar cukup untuk masa pensiun.

Ogi menjelaskan, industri asuransi di Indonesia terbagi dua: komersial dan non-komersial. Kelompok non-komersial dikelola oleh BPJS, Asabri, dan Taspen. Hingga akhir 2024, total aset industri perasuransian mencapai Rp1.133,87 triliun. Per Mei 2025, aset itu naik 3,84% secara tahunan menjadi Rp1.163,62 triliun.

Jumlah pelaku usaha mencapai 148 perusahaan. Terdiri dari 4 asuransi sosial, 58 asuransi jiwa (10 syariah), 77 asuransi umum (6 syariah), dan 9 reasuransi (1 syariah). Total premi tercatat Rp217,17 triliun, naik 3,19% secara tahunan. Klaim asuransi mencapai Rp164,44 triliun dengan rasio 75,72%. Jumlah polis bahkan melebihi jumlah penduduk Indonesia, yaitu 481,38 juta.

Namun bila dibandingkan dengan negara lain, Indonesia masih ketinggalan. Aset asuransi terhadap PDB di Malaysia 45,21%, Filipina 9,70%, dan Thailand 23,72%. Untuk penetrasi premi terhadap PDB, Indonesia hanya 2,84%. Sementara Singapura 12,50%, Malaysia 3,80%, Filipina 2,50%, dan Thailand 4,60%.

Perlindungan kesehatan nasional masih didominasi skema publik seperti BPJS Kesehatan. Skema non-publik termasuk asuransi swasta dan biaya mandiri. Total belanja kesehatan Indonesia pada 2023 mencapai Rp614,5 triliun. Kontribusi skema publik sebesar 57,4%, sementara non-publik 42,6%.

Asuransi swasta hanya menyumbang 5% dari total belanja atau sekitar Rp30,7 triliun. Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berkontribusi Rp166,4 triliun atau 27,1%. Sisanya berasal dari skema pemda, kementerian/lembaga, perusahaan, dan pembiayaan langsung oleh masyarakat.

OJK menyoroti inflasi medis yang melonjak. Pada 2024, inflasi medis mencapai 10,1%, sementara inflasi umum hanya 1,6%. Untuk 2025, inflasi medis diperkirakan naik jadi 13,6%, jauh di atas proyeksi inflasi umum 1,7%. Secara global, inflasi medis hanya 6,5%.

Kenaikan ini dipicu harga layanan kesehatan dan obat-obatan. Ogi menyampaikan bahwa 90% bahan baku obat (BBU) masih impor. “Kalau ada gejolak global, nilai tukar terganggu, maka harga obat ikut naik,” katanya. Negara pemasok utama bahan baku adalah China, India, Amerika Serikat, dan Belanda.

OJK mendorong agar industri farmasi nasional mulai memproduksi bahan baku sendiri, termasuk dari herbal lokal. Tujuannya menekan ketergantungan impor dan menstabilkan harga obat.

Di sektor asuransi kesehatan, rasio klaim pada 2019 tercatat 86,21%. Saat pandemi, melonjak menjadi 97,52%. Bahkan belum termasuk biaya operasional yang berkisar 10-15%. Artinya, perusahaan asuransi mengalami kerugian. Jika dihitung dengan operasional, combined ratio-nya sudah di atas 100%.

Namun pada 2024, terjadi koreksi premi. Rasio klaim menurun ke 71,52%. Kenaikan premi mencapai rata-rata 43,01%, membuat banyak pemegang polis mengeluh. Jumlah perusahaan asuransi kesehatan juga menurun. Dari 82 perusahaan pada 2022 menjadi 78 pada 2024.

Meski begitu, total premi terus meningkat. Tahun 2024, premi asuransi kesehatan mencapai Rp40,19 triliun. Jumlah polis pun naik jadi 31,34 juta, menunjukkan kesadaran masyarakat terhadap asuransi kesehatan makin tumbuh.

Artikel Terkait

Dollar AS Anjlok Setelah Trump Minta Gubernur Fed Mundur

STOCKWATCH.ID (WASHINGTON) – Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS)...

Penjualan 51% Saham BCA Era Megawati Disebut Rugikan Negara, Begini Jawaban BCA

STOCKWATCH.ID (JAKARTA) – Penjualan 51% saham PT Bank Central...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Populer 7 Hari

Berita Terbaru