STOCKWATCH.ID (HOUSTON) – Harga minyak mentah dunia mengawali pekan ini dengan lonjakan yang cukup signifikan. Komoditas emas hitam tersebut tercatat naik lebih dari 1% pada perdagangan hari Senin (1/12/2025) waktu setempat atau Selasa pagi (2/12/2025) WIB. Kenaikan ini dipicu oleh sejumlah faktor geopolitik dan kebijakan produksi.
Serangan drone Ukraina menjadi salah satu pemicu utama kekhawatiran pasar. Selain itu, keputusan OPEC untuk menahan tingkat produksi turut memberikan sentimen positif. Penutupan wilayah udara Venezuela oleh Amerika Serikat juga menambah ketidakpastian pasokan.
Mengutip CNBC International, minyak mentah Brent menguat 79 sen atau 1,27% menjadi US$63,17 per barel, di London ICE Futures Exchange.
Adapun harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) bertambah 77 sen atau 1,32%. WTI menetap di angka US$59,32 per barel, di New York Mercantile Exchange.
Phil Flynn, Analis Senior untuk Price Futures Group, memberikan pandangannya dalam sebuah catatan. Ia menyoroti optimisme pasar akibat serangan militer dan kebijakan kartel minyak.
“Serangan drone Ukraina terhadap armada bayangan Rusia serta komitmen OPEC untuk mempertahankan tingkat produksi saat ini telah membuat pasar berada dalam keadaan optimis,” tulis Phil Flynn.
Flynn juga menambahkan mengenai kondisi permintaan global yang sebenarnya masih kuat.
“Hal ini terjadi seiring permintaan minyak global terus meningkat meskipun ada hal-hal negatif yang terus kita dengar di sisi permintaan persamaan tersebut,” lanjutnya.
Sentimen pasar juga terpengaruh oleh gangguan di Konsorsium Pipa Kaspia (CPC). Fasilitas yang mengangkut 1% minyak global ini melaporkan kerusakan pada satu titik tambat di terminal Novorossiysk. Hal ini sempat menghentikan operasi sementara.
Meski demikian, Chevron selaku pemegang saham CPC memberikan klarifikasi pada Minggu malam. Pemuatan minyak di Novorossiysk dipastikan masih berlanjut. Biasanya, dua tempat penambatan digunakan untuk pemuatan, sementara satu sisanya sebagai cadangan.
Analis UBS, Giovanni Staunovo, menilai serangan terhadap terminal ekspor CPC mendorong harga minyak lebih tinggi. Hal ini terjadi saat Ukraina meningkatkan operasi militer di Laut Hitam. Serangan tersebut menghantam dua kapal tanker minyak yang sedang menuju Novorossiysk.
Faktor pendorong lainnya datang dari keputusan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Kelompok ini beserta sekutunya memutuskan untuk membiarkan tingkat produksi tidak berubah pada kuartal pertama tahun 2026.
Sebelumnya, OPEC+ sempat menyetujui jeda kenaikan produksi pada awal November. Langkah ini diambil untuk memperlambat upaya merebut kembali pangsa pasar. Mereka khawatir akan adanya kelebihan pasokan yang membayangi.
Analis senior LSEG, Anh Pham, menyebut pasar bereaksi positif terhadap berita tersebut. Keputusan ini memberikan ketenangan bagi para pedagang.
“Untuk beberapa waktu, narasi berpusat pada banjir pasokan minyak, jadi keputusan OPEC+ untuk mempertahankan target produksinya memberikan sedikit kelegaan dan membantu menstabilkan ekspektasi pertumbuhan pasokan dalam beberapa bulan mendatang,” kata Anh Pham.
Sebelum kenaikan ini, kontrak berjangka Brent dan WTI sempat tertekan. Keduanya menetap lebih rendah pada hari Jumat untuk bulan keempat berturut-turut. Ini merupakan penurunan beruntun terpanjang sejak 2023 akibat ekspektasi pasokan global yang tinggi.
Ketidakpastian baru juga muncul dari Amerika Selatan. Presiden AS Donald Trump menyatakan wilayah udara di atas dan sekitar Venezuela harus dianggap tertutup. Pernyataan ini memicu kekhawatiran pasar mengingat Venezuela adalah produsen minyak utama.
Trump pada hari Minggu juga menyebutkan telah berbicara dengan Presiden Venezuela Nicolas Maduro. Namun, ia tidak memberikan rincian lebih lanjut mengenai pembicaraan tersebut.
