STOCKWATCH.ID (JAKARTA) — Komisi XI DPR RI menggelar rapat kerja penting bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) pada hari ini, Rabu (3/12/2025). Agenda utama pertemuan ini membahas isu floating share atau saham publik. Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, melontarkan dorongan kuat dalam forum tersebut. Ia meminta batas minimum free float saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) dinaikkan menjadi 30%.
Langkah ini dinilai sangat krusial. Tujuannya adalah meningkatkan likuiditas pasar modal tanah air. Kebijakan ini juga dimaksudkan untuk mendorong keterbukaan perusahaan kepada para investor.
Rapat kerja ini dihadiri oleh sejumlah petinggi otoritas keuangan. Hadir di antaranya Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, serta Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi. Direktur Utama Bursa Efek Indonesia, Iman Rachman, juga turut serta dalam pembahasan ini.
Mahendra Siregar menyambut baik arahan tersebut. Ia menjelaskan definisi mendasar mengenai saham publik kepada peserta rapat.
“Bapak Pimpinan dan Bapak Ibu Anggota Komisi XI, floating shares atau free float adalah saham perusahaan terbuka yang tersedia untuk diperdagangkan publik. Artinya saham itu tidak dimiliki oleh pemegang saham pengendali, komisaris, direksi, atau pihak terkait yang tidak memperdagangkannya secara reguler,” jelas Mahendra.
OJK memandang penguatan kebijakan ini sebagai langkah strategis. Hal ini diperlukan untuk pendalaman pasar modal. Pasar modal diharapkan tidak hanya tumbuh, tetapi juga semakin dalam dan berkualitas.
“Likuiditas yang merata adalah fondasi bagi penciptaan harga yang semakin wajar dan pasar yang lebih kredibel,” tambahnya.
Mahendra memaparkan data kondisi pasar saat ini. Struktur free float Indonesia ternyata masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara tetangga. Angkanya berada di kisaran 23%. Hal ini menyebabkan ketimpangan dalam perdagangan saham.
“Dan kondisi ini membuat perdagangan lebih terkonsentrasi pada sebagian kecil emiten besar sementara mayoritas emiten lain memiliki likuiditas rendah, spread yang lebar, serta minim partisipasi investor,” ungkap Mahendra.
OJK kini menyiapkan dua pendekatan utama untuk mengatasi masalah tersebut. Kebijakan ini mencakup initial free float dan continuous free float. Kebijakan ini akan didukung oleh langkah lain. OJK akan memperkuat basis investor domestik dan mengintegrasikan standar global. Penyederhanaan aksi korporasi juga dilakukan agar proses penambahan saham publik tidak menjadi beban administrasi.
“OJK juga mengatur kombinasi insentif dan kepatuhan agar implementasinya berjalan adil dan efektif,” kata Mahendra.
Target OJK sangat jelas. OJK menginginkan struktur saham publik yang lebih sehat. Likuiditas diharapkan merata di seluruh segmen emiten. Pasar modal pun menjadi lebih inklusif dan menarik bagi investor jangka panjang.
Dalam kesempatan tersebut, Mahendra juga meminta dukungan konkret dari DPR. Ia menyinggung perlunya insentif untuk mendongkrak likuiditas pasar, termasuk insentif pajak. Peningkatan partisipasi investor institusional seperti asuransi dan dana pensiun juga menjadi sorotan.
“Dalam hal itu, Pimpinan, Bapak Ibu Anggota Komisi XI, mohon juga dapat dipertimbangkan untuk nanti membahas atau mendiskusikan mengenai insentif yang mungkin diperlukan bagi meningkatkan hal ini, termasuk di dalamnya insentif pajak,” ujar Mahendra.
Ia juga menyoroti kendala regulasi yang ada. Hambatan ini terutama dirasakan dalam kaitan kepemilikan negara melalui BUMN.
