STOCKWATCH.ID (JAKARTA) — Komisi XI DPR RI menggelar rapat kerja dengan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun pada Kamis (4/12/2025). Agenda rapat membahas kebijakan co-payment pada asuransi kesehatan.
Ketua Komisi XI DPR RI Muhammad Misbakhun membuka rapat. Ia meminta penjelasan perkembangan aturan yang akan berlaku pada 1 Januari 2026.
“Kita putuskan, yaitu POJK yang berkaitan, POJK-nya sudah kita berikan itu. Kita kepingin mendapatkan update dari Ketua Dewan Komisioner OJK dan Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian mengenai sampai di mana peraturan mengenai co-payment ini. Sudah sampai di mana? Dan kita perlu tahu pengaturan ini sampai di mananya dalam rangka kemarin kita sudah merapatkan dan sudah memutuskan bersama sehingga kita kepingin tahu nanti masuk ke 1 Januari 2026 itu berjalannya itu akan seperti apa,” ujar Misbakhun.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar memulai pemaparan. Ia menyampaikan kondisi ekosistem asuransi kesehatan nasional.
“Ekosistem asuransi kesehatan nasional saat ini menghadapi tekanan yang semakin besar,” kata Mahendra.
Menurut Mahendra, OJK mencermati adanya over utilization layanan kesehatan, tren medical inflation yang sangat tinggi, dan kenaikan premi polis asuransi kesehatan yang signifikan. Secara agregat, kenaikan premi pada 2023-2024 mencapai 43,01%.
Di sisi lain, masyarakat menuntut layanan berkualitas dengan premi terjangkau. Kombinasi tekanan tersebut membuat OJK memperkuat ekosistem asuransi agar stabil dan berkelanjutan.
Pada awalnya, OJK merencanakan pengaturan produk asuransi kesehatan diterapkan pada 1 Januari 2026. Namun, Komisi XI meminta rapat kerja pada 30 Juni 2025 untuk membahas kebijakan co-payment atau risk sharing. Kesimpulan rapat menyatakan dukungan terhadap langkah OJK memperkuat ekosistem asuransi kesehatan.
Dalam rapat tersebut disepakati pengaturan dilakukan dalam bentuk Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK). Draft POJK mengenai penguatan ekosistem asuransi kesehatan telah disusun dan dikonsultasikan kembali kepada Komisi XI pada 18 September 2025.
Dengan pendekatan komprehensif, draft tersebut mendapat dukungan Komisi XI. Harapannya aturan dapat terbit dan berlaku efektif pada 1 Januari 2026.
POJK memfokuskan penguatan penyelenggaraan asuransi kesehatan melalui peningkatan tata kelola, manajemen risiko, serta kewajiban pengembangan kapabilitas digital dan medis. POJK juga mengatur pembentukan medical advisory board.
Selain itu, aturan baru menata keberlanjutan sistem pembiayaan kesehatan. Pengaturan meliputi pembagian risiko dan koordinasi antar penyelenggara jaminan.
Salah satu aspek penting adalah pengaturan risk sharing. Mahendra menegaskan prinsip tersebut tidak untuk memindahkan beban biaya kepada pemegang polis. Tujuannya memastikan penggunaan layanan kesehatan berjalan tepat dan tidak berlebihan.
Ia menegaskan pendekatan risk sharing bersifat opsional.
Perusahaan asuransi wajib menawarkan produk tanpa risk sharing. Perusahaan boleh menawarkan produk dengan risk sharing dengan dua kriteria.
Pertama, co-payment sebesar 5% dari total klaim. Batas maksimum untuk rawat jalan Rp300.000 per pengajuan klaim. Untuk rawat inap Rp3.000.000 per pengajuan klaim.
Kedua, menetapkan deductible tahunan yang disepakati bersama.
Dengan begitu, masyarakat memiliki pilihan sesuai kebutuhan dan kemampuan.
POJK juga mendorong koordinasi antar penyelenggara jaminan atau coordination of benefit. Melalui koordinasi ini, selisih biaya peserta dapat diatur berdasarkan rujukan fasilitas kesehatan tingkat pertama dan kepesertaan aktif.
Mahendra menegaskan tujuan besar dari kebijakan ini.
“Kami melihat bahwa dengan keseluruhan pendekatan itu, OJK berharap bahwa kebijakan penguatan ekosistem asuransi kesehatan yang telah mendapatkan persetujuan dan arahan dari Komisi XI dapat memberikan dampak yang luas dan positif bagi perusahaan asuransi dan khususnya bagi penyedia layanan kesehatan dan para pemegang polis atau tertanggung dan peserta,” ujarnya.
Kebijakan ini dirancang agar seluruh pihak dalam ekosistem dapat berperan seimbang dan saling memperkuat.
Skema Co-Payment
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, memaparkan empat pilihan produk asuransi yang akan diperbolehkan dalam rancangan Peraturan OJK. Ogi menjelaskan fleksibilitas ini memungkinkan masyarakat memilih produk sesuai kebutuhan dan kemampuan.
“Dengan POJK dimaksud, perusahaan asuransi bisa mengeluarkan produk dalam 4 kelompok produk,” ujar Ogi. Produk pertama tidak memiliki pembagian risiko. Produk kedua menggunakan risk sharing tanpa deductible. Produk ketiga memakai deductible tahunan, misalnya Rp5.000.000 sesuai perjanjian. Produk keempat adalah kombinasi risk sharing dan deductible.
Ia menambahkan ilustrasi jika terjadi empat pengajuan klaim dalam setahun. Dampaknya akan berbeda pada setiap jenis produk. Jika premi produk tanpa risk sharing dianggap 100%, maka premi produk kedua, ketiga, dan keempat akan lebih rendah. Namun ada kewajiban risk sharing atau deductible yang harus disampaikan kepada konsumen.
“Ini kami sampaikan untuk memberikan pemahaman lebih lanjut kepada para pemegang polis,” kata Ogi.
Salah satu pertanyaan publik adalah masa menunggu atau waiting period. Untuk individu, masa tunggu paling lama 30 hari kalender sebelum polis efektif. Untuk penyakit kritis, kronis, atau khusus, masa tunggu ditetapkan 6 bulan.
“Jadi 6 bulan baru bisa mengajukan klaim untuk yang kritis, kronis, dan khusus,” jelasnya. Sebelumnya masa tunggu 12 bulan. Ogi menyebut perubahan ini dilakukan karena jika masa tunggu 12 bulan, nasabah sudah membayar premi namun belum bisa menikmati manfaat.
Masa tunggu hanya berlaku pada periode pertanggungan pertama. Jika polis diperpanjang, tidak ada lagi masa tunggu. Aturan untuk polis kumpulan mengacu pada perjanjian antara pemegang polis dan perusahaan.
Isu lain yang sering ditanyakan adalah penetapan premi dan repricing. Ogi menegaskan repricing tidak bisa dilakukan setiap saat.
“Nah ini kami atur bahwa itu tidak bisa,” tegasnya. Kontrak harus berjalan sekurang-kurangnya satu tahun. Perubahan premi baru berlaku pada saat kontrak diperpanjang atau berakhir.
Ogi juga memaparkan skema koordinasi antar penyelenggara jaminan atau Coordination of Benefit (COB) sesuai Keputusan Menteri Kesehatan. Ada dua jalur klaim bagi pemegang polis yang juga peserta aktif Jaminan Kesehatan Nasional.
Jalur pertama melalui fasilitas kesehatan tingkat pertama. Pertanggungan mengikuti prosedur BPJS Kesehatan, critical pathway, dan medical efikasi. Besaran pertanggungan 250% dikalikan tarif JKN. BPJS Kesehatan membayar 75% dari 250% dan perusahaan asuransi membayar maksimal 175%.
Jalur kedua memungkinkan pemegang polis langsung menuju rumah sakit komersial tanpa rujukan fasilitas tingkat pertama. Syaratnya peserta harus aktif di JKN.
“Untuk yang jalur bawah ini bisa langsung dilayani oleh rumah sakit dan perusahaan asuransi bisa menanggung sampai dengan 250%,” jelas Ogi. Skema ini dinilai lebih jelas dalam koordinasi antara JKN dan asuransi komersial untuk memberi opsi yang lebih cepat dan murah.
Ogi berharap proses harmonisasi di Kementerian Hukum segera selesai. Aturan ini ditargetkan efektif pada 1 Januari 2026.
“Kami berharap bahwa proses di Kementerian Hukum bisa berjalan cepat, harmonisasinya, tinggal menunggu hari-hari terakhir di bulan Desember ini sehingga 1 Januari 2026 POJK-nya sudah efektif bisa dijalankan,” ujarnya.
