STOCKWATCH.ID (JAKARTA) – Bank Indonesia memutuskan untuk menahan suku bunga acuannya dalam Rapat Dewan Gubernur pada 17-18 Juni 2025. BI-Rate tetap berada di level 5,50%. Suku bunga Deposit Facility dijaga di 4,75%, sementara Lending Facility tetap di 6,25%.
Keputusan ini menuai respons dari Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah Rejalam. Menurutnya, langkah BI sebenarnya tidak lepas dari dilema besar yang sedang dihadapi saat ini. Di satu sisi, ekonomi Indonesia sedang melambat dan membutuhkan dorongan dari sisi moneter. Namun, di sisi lain, kondisi global justru dipenuhi ketidakpastian.
“BI saya kira sebenarnya sudah merencanakan untuk lebih melonggarkan kebijakan moneter, di tengah kondisi kita yang memang membutuhkan dorongan,” ujar Piter kepada stockwatch.id di Jakarta, Rabu (18/6/2025).
Ia menjelaskan, tekanan global saat ini bukan hal yang bisa diabaikan. Konflik antara Iran dan Israel, serta perang yang belum reda di Rusia dan Ukraina, menurutnya bisa berdampak besar terhadap perekonomian global. Bahkan, Piter memperkirakan potensi eskalasi di Timur Tengah bisa makin memburuk.
“Bahkan ada keyakinan konflik Israel dan Iran ini bisa tereskalasi lebih tinggi dan tidak akan selesai dalam waktu pendek. Bahkan mungkin akan meluas,” ucapnya.
Jika situasi tersebut memanas hingga menyebabkan Iran menutup akses Selat Hormuz, maka harga minyak dunia bisa melonjak drastis. Hal itu akan memicu inflasi global yang tinggi. Negara-negara besar bisa kembali mengetatkan kebijakan moneternya.
“Kebijakan moneter ketat di banyak negara itu harus diantisipasi oleh BI. Jadi saya memahami pertimbangan-pertimbangan BI untuk menahan suku bunga saat ini,” katanya.
Meski demikian, Piter menilai ruang untuk menurunkan suku bunga sebenarnya masih ada. Namun, keputusan tersebut harus benar-benar mempertimbangkan prospek ke depan dan risiko global yang bisa terjadi sewaktu-waktu.
“Kalau ruangnya ada, diturunkan bisa. Tapi persoalannya adalah apakah itu akan menjadi kebijakan terbaik atau tidak, kalau seandainya perang pecah,” jelas Piter.
Jika negara lain menaikkan suku bunga karena inflasi melonjak, sementara Indonesia justru menurunkannya, maka dampaknya bisa fatal bagi stabilitas ekonomi.
Lebih jauh, Piter juga menyoroti dampak konflik Timur Tengah terhadap Indonesia. Ia menilai, gejolak itu bisa memberikan tekanan negatif pada ekonomi nasional, terutama dari sisi ekspor-impor dan penerimaan dolar.
“Kalau ekspor-impor kita tertekan, berarti penerimaan dolar kita juga terbatas. Risiko tinggi juga akan menyebabkan harga emas, harga dolar bisa naik,” katanya.
Meski begitu, ia tetap optimistis Indonesia bisa bertahan. Kuncinya ada pada kekuatan pasar domestik dan kemampuan pemerintah menjaga permintaan dalam negeri tetap stabil.
“Kita ada pasar domestik. Sepanjang kita mampu menjaga pasar domestik, mengambil kebijakan-kebijakan yang bisa menggerakkan pasar domestik, saya kira dampak itu bisa kita mitigasi,” tutur Piter.
Ia menekankan pentingnya langkah-langkah kebijakan yang tepat dari pemerintah untuk menjaga aktivitas ekonomi dalam negeri tetap berjalan.
“Karena sekali lagi domestik kita itu bisa bertahan kalau seandainya kita bisa menjaga permintaan domestik kita tetap baik,” ujarnya.
Saat ditanya apakah langkah mitigasi harus dilakukan oleh pemerintah, Piter menjawab tegas.
“Iya, saya kira begitu, Mas,” ucapnya.