STOCKWATCH.ID (WASHINGTON) – Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) melemah terhadap sejumlah mata uang utama pada penutupan perdagangan Senin (19/5/2025) waktu setempat atau Selasa pagi (20/5/2025) WIB. Tekanan datang setelah Moody’s memangkas peringkat kredit tertinggi AS pada Jumat lalu.
Mengutip CNBC International, pelemahan dolar terjadi secara luas. Mata uang ini menyentuh level terendah dalam lebih dari sepekan terhadap yen Jepang, franc Swiss, dan euro.
Moody’s memangkas peringkat utang AS dari Aaa menjadi Aa1. Lembaga pemeringkat itu mengutip kekhawatiran atas tumpukan utang AS yang kini sudah mencapai US$36 triliun.
Langkah Moody’s ini mengikuti jejak Fitch yang melakukan pemangkasan serupa pada musim panas 2023, serta S&P yang sudah lebih dulu memangkas peringkat kredit AS pada 2011.
Dampak dari kabar ini langsung terasa di pasar. Dolar sempat kehilangan kekuatan setelah empat minggu berturut-turut menguat karena harapan perbaikan hubungan dagang antara AS dan Tiongkok.
Namun tekanan terhadap dolar mulai mereda menjelang sore hari waktu New York. Beberapa pelaku pasar mulai melihat penurunan ini sebagai peluang beli.
“Bagi saya, ini bukan perubahan besar. Moody’s tidak memberi tahu hal yang belum kita ketahui. Kita semua tahu situasi di Washington dan defisit anggaran yang besar,” ujar Marc Chandler, Chief Market Strategist di Bannockburn Global Forex, New York.
“Tadi pagi Asia dan Eropa mendorong dolar turun. Tapi orang-orang Amerika Utara seperti saya berpikir, ‘apa masalahnya?’ Jadi beberapa mengambil kesempatan untuk membeli dolar yang melemah,” tambahnya.
Dolar AS turun ke level 144,665 yen, posisi terendah sejak 8 Mei, sebelum terakhir diperdagangkan turun 0,5% ke 144,98 yen. Terhadap franc Swiss, dolar juga menyentuh level terendah lebih dari sepekan di 0,8317 franc.
Sementara itu, euro naik 0,6% terhadap dolar ke US$1,1232, dan sempat menyentuh level tertinggi sejak 9 Mei. Poundsterling juga menguat 0,6% ke US$1,3355, setelah sebelumnya menyentuh level tertinggi sejak 30 April.
Kenaikan pound terjadi setelah Inggris dan Uni Eropa menyepakati perombakan besar hubungan perdagangan dan pertahanan pasca-Brexit.
Meski dolar tertekan, Presiden Federal Reserve New York, John Williams, menyatakan tidak melihat adanya pergerakan besar-besaran keluar dari aset AS. Ia menegaskan bahwa dolar masih menjadi mata uang cadangan utama dunia.
Pemerintah Tiongkok juga ikut angkat suara. Mereka mendesak AS untuk menjalankan kebijakan yang bertanggung jawab demi menjaga stabilitas sistem keuangan dan ekonomi global serta melindungi kepentingan para investor.
Pernyataan ini muncul setelah Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, mengeluarkan peringatan tegas pada Minggu. Ia mengatakan Presiden Donald Trump akan memberlakukan tarif seperti yang pernah diancam bulan lalu jika negara mitra dagang tidak bernegosiasi dengan itikad baik.
Namun suasana pasar sedikit membaik setelah muncul laporan dari Financial Times bahwa AS telah memulai kembali negosiasi dagang serius dengan Uni Eropa. Pembicaraan ini mengakhiri kebuntuan panjang dan membuka peluang untuk kesepakatan tambahan setelah AS dan Inggris sebelumnya menyepakati kerangka kerja perdagangan baru.
Trump juga menyebut ada potensi kesepakatan dagang dengan India, Jepang, dan Korea Selatan. Meski begitu, negosiasi dengan Jepang disebut masih menemui hambatan soal tarif mobil.
Di sisi lain, Trump berhasil meloloskan satu tahap penting untuk mengesahkan rancangan pemotongan pajak besar-besaran. RUU ini diperkirakan akan menambah beban utang nasional AS sebesar US$3 triliun hingga US$5 triliun dalam satu dekade ke depan.