STOCKWATCH.ID (WASHINGTON) – Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) kembali menguat pada penutupan perdagangan Jumat (16/5/2025) waktu setempat atau Sabtu pagi (17/5/2025) WIB. Penguatan ini terjadi setelah rilis data ekonomi terbaru menunjukkan kenaikan harga impor dan turunnya sentimen konsumen.
Mengutip CNBC International, Kementerian Tenaga Kerja AS melaporkan bahwa harga impor naik 0,1% pada bulan lalu. Sebelumnya, harga impor sempat turun 0,4% pada Maret. Kenaikan ini didorong oleh lonjakan biaya barang modal yang mengimbangi penurunan harga energi.
Ekonom yang disurvei Reuters sebelumnya memperkirakan harga impor, yang tidak termasuk tarif, bakal turun 0,4%.
Penguatan dolar juga terdorong oleh laporan dari University of Michigan yang menyebutkan bahwa Indeks Sentimen Konsumen turun menjadi 50,8 pada bulan ini. Angka ini lebih rendah dari perkiraan sebesar 53,4 dan juga lebih rendah dari posisi April sebesar 52,2.
Selain itu, ekspektasi inflasi konsumen dalam 12 bulan ke depan melonjak menjadi 7,3% dari 6,5%.
Sepanjang pekan ini, dolar AS sempat melesat lebih dari 1% pada Senin setelah AS dan Tiongkok sepakat untuk menghentikan sementara penerapan sebagian besar tarif selama 90 hari. Kesepakatan itu sedikit meredakan kekhawatiran akan resesi global.
Namun, setelah itu dolar cenderung bergerak melemah karena data ekonomi yang kurang meyakinkan.
“Ada begitu banyak data, tapi berita utama yang justru mendominasi,” ujar Juan Perez, Direktur Perdagangan di Monex USA, Washington. Ia menambahkan, “Masalahnya dengan perkembangan perdagangan adalah semuanya terjadi sangat cepat, sementara tidak ada kepastian jangka panjang. Di sisi lain, data ekonomi belum benar-benar mencerminkan kecemasan yang kita alami.”
Indeks dolar, yang mengukur kekuatan dolar terhadap sekeranjang mata uang utama, naik 0,31% ke level 101,08. Sementara itu, euro turun 0,26% ke US$1,1158.
Secara mingguan, dolar AS naik sekitar 0,7% dan mencatat kenaikan mingguan terbesar dalam dua setengah bulan terakhir. Sebaliknya, euro turun 0,8% dan menjadi penurunan mingguan terbesar sejak awal Februari.
Namun, sejak 2 April lalu, dolar AS masih mencatat penurunan hampir 3% setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan gelombang tarif baru terhadap sejumlah negara.
“Ide bahwa perdagangan global belum benar-benar bebas dari turbulensi terus memengaruhi kepercayaan jangka panjang terhadap dolar,” kata Perez.
Di sisi lain, pasar mulai mengurangi ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Federal Reserve tahun ini. Berdasarkan data LSEG, peluang pemangkasan pertama sebesar minimal 25 basis poin pada pertemuan September kini berada di angka 65,9%. Sebelumnya, pasar memperkirakan pemangkasan bakal dimulai pada Juli.
Terhadap yen Jepang, dolar menguat 0,24% ke level 146,02. Penguatan ini terjadi setelah data ekonomi Jepang menunjukkan kontraksi untuk pertama kalinya dalam setahun, bahkan lebih buruk dari perkiraan, pada kuartal pertama 2025.
Secara mingguan, dolar naik 0,4% terhadap yen.
Menteri Keuangan Jepang Katsunobu Kato menyatakan ingin membahas isu nilai tukar dengan Menteri Keuangan AS Scott Bessent. Ia menegaskan bahwa volatilitas mata uang yang berlebihan tidak diinginkan dan berharap bisa bertemu Bessent pekan depan.
Sementara itu, poundsterling Inggris melemah 0,31% ke posisi US$1,3256 dan tercatat turun 0,4% sepanjang pekan.
