STOCKWATCH.ID (WASHINGTON) – Dolar Amerika Serikat (AS) naik terhadap mayoritas mata uang utama pada penutupan perdagangan Kamis (1/5/2025) waktu setempat atau Jumat pagi (2/5/2025) WIB. Di sisi lain, yen Jepang melemah tajam usai Bank of Japan (BOJ) memutuskan untuk menahan suku bunga dan menurunkan proyeksi pertumbuhan.
Mengutip CNBC International, Yen Jepang anjlok ke posisi terendah dalam empat minggu terhadap dolar. Dolar AS melonjak 1,7% menjadi 145,45 yen. Terhadap euro, yen juga melemah ke level terendah dalam sebulan. Euro tercatat naik 1,2% ke posisi 164,02 yen.
Keputusan BOJ untuk tidak mengubah suku bunga sebenarnya sudah diperkirakan pasar. Tapi penurunan proyeksi inflasi dan pertumbuhan ekonomi membuat investor ragu bank sentral Jepang akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat.
BOJ kini memperkirakan inflasi inti konsumen baru akan mencapai target 2% pada paruh akhir tahun fiskal 2026. Proyeksi ini lebih lambat setahun dibandingkan perkiraan sebelumnya pada Januari lalu.
“Pasar sebelumnya berharap BOJ akan menaikkan suku bunga, tapi ekspektasi itu sekarang berkurang karena revisi proyeksi inflasi dan pertumbuhan,” kata Jayati Bharadwaj, ahli strategi valas global di TD Securities, New York.
Sementara itu, dolar AS justru terus menguat terhadap euro dan poundsterling. Penguatan ini didorong oleh harapan akan tercapainya kesepakatan dagang antara AS dan sejumlah mitra dagangnya, termasuk China.
Dolar AS juga mendapat dukungan dari sentimen positif atas kemungkinan kesepakatan dagang baru. Presiden AS Donald Trump mengatakan pada Rabu bahwa ada “potensi” kesepakatan dagang dengan India, Korea Selatan, dan Jepang. Ia juga menyebut peluang tercapainya kesepakatan dengan China sangat besar.
Namun perwakilan dagang AS Jamieson Greer mengonfirmasi bahwa belum ada pembicaraan resmi dengan China. Meski begitu, akun media sosial yang terafiliasi dengan media pemerintah China menyebut AS telah mengajukan permintaan untuk mengadakan pembicaraan terkait tarif 145% yang diberlakukan Trump.
Penasihat ekonomi Gedung Putih Kevin Hassett juga memberikan sinyal positif. Ia mengatakan kepada CNBC bahwa sudah ada “diskusi informal” antara kedua pemerintahan. Ia menilai langkah China menurunkan bea masuk untuk beberapa barang AS pekan lalu sebagai tanda kemajuan.
Euro turun ke level terendah dalam tiga minggu terhadap dolar dan ditutup melemah 0,5% di angka US$1,1273. Poundsterling juga terkoreksi 0,3% menjadi US$1,3293.
“Kami sudah mengindikasikan bahwa dolar AS berpotensi bangkit dalam jangka pendek. Ini bisa jadi peluang bagus untuk masuk kembali ke pasar,” ujar Bharadwaj dari TD Securities.
Dari sisi data ekonomi, dolar AS juga didorong oleh laporan tenaga kerja dan manufaktur terbaru. Klaim tunjangan pengangguran awal AS naik ke level tertinggi dalam dua bulan, yakni 241.000 klaim untuk pekan yang berakhir 26 April. Angka ini jauh di atas perkiraan ekonom sebesar 224.000 klaim.
Sementara itu, sektor manufaktur AS juga menunjukkan kontraksi lanjutan. Indeks manufaktur versi Institute for Supply Management (ISM) turun menjadi 48,7 pada April, dari 49,0 di bulan sebelumnya. Meskipun sedikit lebih baik dari perkiraan, angka di bawah 50 tetap menandakan kontraksi.
“Secara keseluruhan, data nasional pada April (ISM dan PMI) tidak seburuk survei regional The Fed. Tapi tantangan besar masih menghadang sektor manufaktur dalam beberapa bulan ke depan,” tulis analis Citi dalam catatan riset.
Di pasar mata uang lainnya, dolar Australia juga ikut melemah terhadap dolar AS yang sedang menguat. Aussie turun 0,3% ke US$0,6383. Dolar Selandia Baru juga terkoreksi 0,5% ke level US$0,5910.