STOCKWATCH.ID (WASHINGTON) – Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) ditutup menguat pada akhir perdagangan Jumat (25/7/2025) waktu setempat atau Sabtu pagi (26/7/2025) WIB. Namun, sepanjang pekan ini, dolar tetap berada di jalur penurunan mingguan terbesarnya dalam sebulan terakhir.
Mengutip CNBC International, dolar AS menguat karena pelaku pasar memperkirakan Federal Reserve (The Fed) akan menahan suku bunga untuk sementara waktu. Penguatan ini juga dipicu oleh meredanya ketidakpastian seputar negosiasi tarif perdagangan antara Amerika Serikat dan negara mitranya.
Mata uang ini sempat menunjukkan reaksi terbatas terhadap data pesanan baru untuk barang modal buatan AS yang turun tak terduga pada Juni. Sementara pengiriman barang-barang tersebut justru naik moderat, yang mengindikasikan belanja bisnis pada peralatan melambat cukup tajam di kuartal kedua.
“Dolar mulai pulih dalam dua hari terakhir, setelah sebelumnya melemah di awal pekan. Ini karena data ekonomi AS cukup positif, yang mendukung sikap sabar The Fed,” kata Elias Haddad, Senior Market Strategist di Brown Brothers Harriman, London.
Indeks dolar, yang mengukur kekuatan dolar terhadap enam mata uang utama dunia, naik 0,2% ke level 97,663 pada Jumat. Namun secara mingguan, indeks ini tetap turun 0,8%, jadi yang terlemah sejak sebulan terakhir.
Meski demikian, sentimen pasar tetap waspada menjelang rapat kebijakan moneter dari The Fed dan Bank of Japan (BOJ) pekan depan. Kedua bank sentral diperkirakan belum akan mengubah suku bunga. Pelaku pasar kini lebih fokus pada pernyataan usai rapat, untuk mencari petunjuk arah kebijakan berikutnya.
“Kami melihat ada sedikit ruang untuk optimisme di rapat The Fed,” tulis BNP Paribas dalam catatan riset. “Ketidakpastian ekonomi yang terkait dengan kebijakan perdagangan memang belum hilang, tapi sudah jauh menurun.”
Faktor politik juga masih menjadi tekanan, khususnya di AS. Presiden Donald Trump kembali mendorong penurunan suku bunga pada Kamis lalu. Ia bahkan sempat mengkritik Gubernur The Fed Jerome Powell.
Elias Haddad menambahkan, “Kebijakan moneter The Fed kini mulai dibayangi tekanan politik agar suku bunga diturunkan. Ini salah satu alasan kenapa penguatan dolar cukup terbatas.”
Meski begitu, dolar sempat sedikit menguat terhadap euro pada Kamis malam, setelah Trump menyatakan tidak berniat memecat Powell.
“Pasar sedikit lega karena Trump tidak menyuarakan pemecatan Powell, meskipun pernyataan itu didasarkan pada harapan Trump bahwa Powell akan ‘bertindak benar’,” ujar Derek Halpenny, Kepala Riset EMEA di MUFG.
Namun, Halpenny menegaskan, “Isu independensi The Fed yang terus diganggu Gedung Putih kemungkinan tak akan hilang begitu saja, dan tetap menjadi risiko penekan dolar.”
Dari sisi Jepang, yen melemah tipis terhadap dolar. Ini dipengaruhi oleh inflasi Tokyo yang lebih rendah dari perkiraan dan kekalahan koalisi Perdana Menteri Shigeru Ishiba dalam pemilu majelis tinggi akhir pekan lalu.
Dolar naik 0,4% terhadap yen menjadi 147,59 yen, meskipun masih mencatat penurunan mingguan sebesar 0,9%, yang terendah sejak 23 Juni.
Euro berada di level US$1,1741, nyaris flat di perdagangan Jumat, tapi mencatat kenaikan mingguan hampir 1%, yang terbaik dalam sebulan terakhir. Sentimen euro didukung oleh hasil pertemuan Bank Sentral Eropa (ECB) yang mempertahankan suku bunga acuan di 2% dan nada optimistis terhadap prospek ekonomi.
Sementara itu, poundsterling kembali melemah. Data penjualan ritel Inggris bulan Juni lebih lemah dari ekspektasi analis. Ditambah lagi, aktivitas bisnis di Juli tumbuh lemah dan pemutusan hubungan kerja meningkat tajam.
Terhadap dolar, pound turun 0,6% menjadi US$1,3434. Euro pun menguat terhadap pound hingga menyentuh 87,42 pence, tertinggi sejak April lalu.