STOCKWATCH.ID (WASHINGTON) – Dolar Amerika Serikat (AS) menguat terhadap euro pada penutupan perdagangan Senin (24/3/2025) waktu setempat atau Selasa pagi (25/3/2025) WIB. Penguatan greenback ini didorong oleh data aktivitas bisnis AS yang membaik serta laporan bahwa Presiden AS Donald Trump akan lebih fleksibel dalam penerapan tarif perdagangan mendatang.
Mengutip CNBC International, indeks PMI Komposit AS versi S&P Global, yang mengukur sektor manufaktur dan jasa, naik ke 53,5 pada Maret dari 51,6 pada Februari. Angka di atas 50 menunjukkan ekspansi di sektor swasta.
Sektor jasa menjadi pendorong utama kenaikan ini, sebagian karena peralihan musim ke musim semi yang lebih hangat. Sementara itu, sektor manufaktur kembali mengalami kontraksi setelah dua bulan berturut-turut mencatat pertumbuhan.
“Sektor jasa jauh lebih penting bagi ekonomi AS, jadi ini berita baik,” kata Adam Button, Kepala Analis Mata Uang di ForexLive, Toronto.
Dolar AS juga menguat terhadap yen setelah Bloomberg News dan The Wall Street Journal melaporkan bahwa pemerintahan Trump kemungkinan akan mengecualikan beberapa sektor dari kebijakan tarif yang akan diberlakukan pada 2 April.
Trump mengatakan pada Senin bahwa dalam waktu dekat ia akan mengumumkan tarif untuk sektor otomotif, aluminium, dan farmasi.
“Awalnya pasar kaget dengan cakupan dan besarnya rencana tarif ini, tetapi sekarang pasar mulai menilai kebijakan ini dengan lebih tenang,” ujar Button.
Dolar AS menguat 0,82% terhadap yen menjadi 150,54 yen, sempat mencapai level tertinggi sejak 3 Maret di 150,75 yen. Kenaikan dolar sejalan dengan lonjakan imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun yang naik 8,3 basis poin menjadi 4,335%.
“Ada optimisme hati-hati di pasar valuta asing, dengan harapan bahwa pengumuman tarif AS pekan depan tidak akan seburuk yang dikhawatirkan,” kata Karl Schamotta, Kepala Strategi Pasar di Corpay, Toronto.
Namun, ia menambahkan bahwa “trader masih berhati-hati karena kebijakan tarif AS dapat memicu aksi balasan dari mitra dagang utama, yang bisa merugikan ekonomi global dan meningkatkan volatilitas di pasar mata uang.”
Dolar AS telah berada di bawah tekanan sepanjang tahun ini, seiring kekhawatiran bahwa tarif perdagangan dapat meningkatkan inflasi dan menekan pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.
Data dari Commodity Futures Trading Commission menunjukkan bahwa spekulan beralih menjadi net bearish terhadap dolar AS pekan lalu, pertama kali sejak Oktober.
Euro melemah 0,09% ke US$1,0804, sempat turun ke level terendah sejak 7 Maret di US$1,078. Aktivitas bisnis zona euro tumbuh di level tertinggi dalam tujuh bulan pada Maret, didukung oleh meredanya perlambatan sektor manufaktur.
Pekan lalu, euro sempat menguat ke level tertinggi sejak awal Oktober di US$1,0955, terdorong oleh rencana Jerman melonggarkan aturan anggaran untuk meningkatkan belanja militer dan infrastruktur. Namun, mata uang ini melemah menjelang ratifikasi kebijakan tersebut oleh parlemen Jerman.
Poundsterling naik tipis 0,04% ke US$1,292 menjelang pembaruan anggaran musim semi oleh Menteri Keuangan Inggris, Rachel Reeves, pekan ini.
Sementara itu, lira Turki sedikit melemah ke 38 per dolar setelah pengadilan Turki menahan Wali Kota Istanbul, Ekrem Imamoglu, rival utama Presiden Recep Tayyip Erdogan, dengan tuduhan korupsi yang ia bantah.
Lira sempat anjlok ke rekor terendah di 42 per dolar pekan lalu setelah bank sentral Turki menangguhkan lelang repo satu minggu dan menaikkan suku bunga pinjaman semalam menjadi 46%, langkah yang dianggap sebagai pengetatan kebijakan moneter.
Pasar juga mencermati potensi kesepakatan gencatan senjata di Laut Hitam setelah pejabat AS dan Rusia memulai perundingan di Arab Saudi pada Senin.