STOCKWATCH.ID (NEWYORK) – Harga minyak mentah dunia ditutup melemah pada akhir perdagangan Jumat (25/7/2025) waktu setempat atau Jumat pagi (25/7/2025) WIB. Kenaikan ini didorong oleh sentimen positif terkait negosiasi perdagangan Amerika Serikat serta penurunan stok minyak mentah AS yang lebih besar dari perkiraan.
Mengutip CNBC International, kontrak berjangka Brent untuk pengiriman terdekat turun 74 sen atau 1,1% dan ditutup di US$68,44 per barel, di London ICE Futures Exchange.
Adapun harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) melemah 87 sen atau 1,3% ke posisi US$65,16 per barel, di New York Mercantile Exchange.
Itu menjadi level penutupan terendah untuk Brent sejak 4 Juli dan WTI sejak 30 Juni. Sepanjang pekan ini, Brent terkoreksi sekitar 1%, sementara WTI anjlok 3%.
Pelaku pasar mencermati data ekonomi yang mengecewakan dari AS. Pesanan baru untuk barang modal buatan AS secara tak terduga turun pada Juni. Sementara pengiriman barang hanya meningkat secara moderat. Hal ini mengindikasikan bahwa belanja bisnis pada peralatan melemah signifikan di kuartal kedua.
Di sisi lain, Presiden AS Donald Trump menyatakan telah menggelar pertemuan yang baik dengan Ketua Federal Reserve Jerome Powell. “Saya mendapat kesan bahwa Ketua The Fed mungkin siap untuk menurunkan suku bunga,” kata Trump.
Suku bunga yang lebih rendah bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan permintaan minyak.
Dari China, Kementerian Keuangan melaporkan pendapatan fiskal negara itu turun 0,3% dalam enam bulan pertama 2025 dibanding tahun sebelumnya. Angka ini menandakan tekanan berlanjut pada ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut.
Namun, pelemahan harga minyak tertahan oleh harapan akan tercapainya kesepakatan dagang antara AS dan Uni Eropa. Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dijadwalkan bertemu Presiden Trump pada Minggu di Skotlandia.
Para diplomat Eropa memperkirakan kesepakatan kerangka kerja dagang bisa tercapai akhir pekan ini. Optimisme ini memberi sentimen positif terhadap potensi pertumbuhan ekonomi global dan permintaan energi.
Dari sisi pasokan, pasar juga mencermati kemungkinan pelonggaran sanksi terhadap Venezuela. Pemerintah AS disebut tengah bersiap mengizinkan Chevron dan mitra PDVSA lainnya untuk beroperasi terbatas di negara tersebut.
Menurut analis ING, langkah ini bisa menambah ekspor minyak Venezuela lebih dari 200.000 barel per hari. Ini akan membantu mengurangi keketatan pasokan minyak jenis berat yang selama ini dibutuhkan kilang-kilang AS.
Di saat yang sama, Iran menyatakan siap melanjutkan pembicaraan nuklir dengan negara-negara Eropa. Langkah ini bisa membuka peluang peningkatan ekspor minyak Iran ke pasar global.
Kedua negara, Venezuela dan Iran, merupakan anggota Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Jika keduanya kembali meningkatkan ekspor, pasokan minyak dunia bisa bertambah signifikan.
Sementara itu, delegasi OPEC+ menyebut kelompok produsen akan mempertimbangkan peningkatan produksi saat pertemuan panel teknis pada Senin. Langkah ini dilakukan demi merebut kembali pangsa pasar di tengah tingginya permintaan musim panas.
Dari Rusia, ekspor minyak dari pelabuhan barat negara itu diperkirakan turun menjadi 1,77 juta barel per hari pada Agustus. Angka ini lebih rendah dibanding rencana 1,93 juta barel per hari pada Juli, menurut data dari dua sumber yang dihimpun Reuters.
Di AS, jumlah rig minyak dan gas yang beroperasi turun lagi pekan ini. Ini menjadi pemangkasan ke-12 dalam 13 pekan terakhir, menurut laporan mingguan Baker Hughes.
Tekanan ekonomi global dan sinyal bertambahnya pasokan jadi dua faktor utama yang menahan harga minyak di level rendah. Pasar kini menantikan keputusan OPEC+ dan arah kebijakan The Fed dalam beberapa waktu ke depan.