STOCKWATCH.ID (JAKARTA) — Dominasi pasar surat utang korporasi di Indonesia mengalami pergeseran signifikan pada tahun 2025. Perusahaan swasta atau non-BUMN kini berhasil menggeser posisi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Mereka sukses mengambil alih kendali penguasaan pasar obligasi.
Direktur Utama PT Pemeringkat Efek Indonesia (PEFINDO), Irmawati Amran memaparkan data terbaru terkait perubahan tren tersebut. Porsi BUMN terus mengalami penurunan berdasarkan data surat utang yang masih beredar atau outstanding.
Pada tahun 2020, BUMN masih mendominasi pasar. Porsi outstanding mereka kala itu sebesar 62,8%. Angka tersebut terus menyusut hingga menyentuh 42,7% pada November 2025.
“Jadi porsi surat utang korporasi yang dari Non-BUMN itu meningkat cukup signifikan ya, sehingga sekarang di pasar saat ini yang outstanding itu lebih mendominasi daripada yang BUMN,” ujar Irmawati, di Jakarta, Selasa (16/12/2025).
Ia menegaskan posisi swasta saat ini sudah berada di atas angin. Dominasi ini terlihat jelas dari angka persentase outstanding.
“Lebih dari 50%, sekarang yang outstanding adalah surat utang-surat utang dari korporasi Non-BUMN,” tambahnya.
Selain pergeseran pemain utama, penggunaan dana hasil penerbitan surat utang juga mencatatkan kenaikan nilai. Kebutuhan modal kerja mengalami peningkatan cukup signifikan hingga November 2025.
Tercatat angka untuk modal kerja sebesar 79,44% pada tahun 2024. Angka ini naik menjadi 124,27% pada tahun ini. Aktivitas pembayaran kembali utang atau refinancing juga meningkat.
Hal ini terjadi karena banyaknya surat utang yang jatuh tempo. Nilai refinancing tercatat mencapai Rp 57,58 triliun. Lonjakan tajam justru terjadi pada penggunaan dana untuk investasi.
Nilainya naik dua kali lipat dari tahun lalu. Investasi tercatat sebesar Rp 8,27 triliun pada 2024 dan melonjak menjadi Rp 16,9 triliun tahun ini.
Meski nilai nominalnya naik, Irmawati menyebut proporsi penggunaan dananya relatif stabil. Porsi untuk modal kerja stabil di angka 62%. Sedangkan refinancing berada di kisaran 27,88% hingga 28,90%.
“Tapi emang menarik ya, dengan melihat proporsional ini ternyata untuk modal kerja itu memang stabil ya, dengan peningkatan penerbitan surat utang namun secara proporsional memang kebutuhan untuk modal kerja itu stabil di angka 62 persenan,” jelasnya.
Dari sisi peringkat, surat utang dengan rating Triple A (AAA) mengalami peningkatan tajam dibanding tahun 2024. Peningkatan ini banyak didorong oleh penerbitan dari korporasi BUMN. Sebaliknya, penerbitan untuk peringkat Double A (AA) justru mengalami penurunan.
Tren menarik lainnya terlihat pada pemilihan jangka waktu atau tenor obligasi. Pada 2023 dan 2024, penerbit lebih memilih tenor pendek 1 hingga 3 tahun. Pilihan ini diambil akibat tingginya suku bunga kala itu.
Kondisi berubah pada 2025 seiring adanya pemotongan suku bunga acuan (BI Rate). Pasar mulai beralih ke tenor jangka panjang. Penerbitan tenor 3 tahun menurun, sedangkan tenor 5 tahun dan 7 tahun justru naik.
“Ini kita lihat tuh di tahun 2025 tuh yang 3 tahun turun ya, yang 3 tahun turun, yang 5 tahunnya naik,” kata Irmawati.
Hal ini menandakan kepercayaan pasar terhadap kondisi ekonomi jangka panjang mulai pulih. Investor mulai berani mengambil risiko untuk durasi yang lebih lama.
“Jadi ini sudah menunjukkan orang sudah mulai percaya ya dengan kondisi kita sampai 5 sampai 7 tahun ke depan,” ungkapnya.
Dampak pemotongan BI Rate juga berimbas langsung pada penurunan kupon obligasi atau biaya dana (cost of fund). Penurunan kupon terjadi pada surat utang Triple A untuk tenor 1 tahun, 3 tahun, hingga 5 tahun.
Penurunan serupa juga dialami oleh surat utang peringkat Double A dan Single A. Khusus untuk tenor 1 tahun, penurunannya terbilang sangat tajam.
“Jadi turunnya cukup tajam ya sampai di bawah dua digit,” tandas Irmawati.
