STOCKWATCH.ID (NEWYORK) – Harga minyak mentah dunia turun lebih dari 2% pada penutupan perdagangan Selasa (29/4/2025) waktu setempat atau Rabu pagi (30/4/2025) WIB. Penurunan ini dipicu kekhawatiran pasar terhadap prospek permintaan energi global yang melemah akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok.
Konflik dagang yang memanas membuat investor waswas, apalagi ada sinyal bahwa negara-negara anggota OPEC+ akan meningkatkan produksi minyak mereka bulan depan.
Mengutip CNBC International, harga minyak mentah berjangka Brent turun US$1,61 atau 2,44% dan ditutup di level US$64,25 per barel, di London ICE Futures Exchange.
Adapun harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) merosot US$1,63 atau 2,63% ke US$60,42 per barel, di New York Mercantile Exchange.
Kebijakan tarif tinggi yang diterapkan Presiden AS Donald Trump dianggap sebagai pemicu perlambatan ekonomi global. Dalam survei yang dilakukan Reuters, mayoritas ekonom memprediksi bahwa dunia berisiko mengalami resesi tahun ini.
Tiongkok yang menjadi sasaran tarif tertinggi juga membalas dengan kebijakan serupa terhadap produk-produk asal Amerika. Hal ini memicu perang dagang antara dua negara konsumen minyak terbesar di dunia.
“Perdagangan antara Tiongkok dan Amerika Serikat melambat seperti embargo parsial. Setiap hari yang berlalu tanpa kesepakatan dagang justru membawa kita lebih dekat ke situasi kehancuran permintaan global,” ujar Bob Yawger, Direktur Energy Futures di Mizuho.
Data menunjukkan bahwa defisit neraca dagang barang AS meningkat tajam pada Maret. Hal ini terjadi karena pelaku usaha mempercepat impor sebelum kebijakan tarif Trump diberlakukan, yang turut menjadi beban bagi pertumbuhan ekonomi kuartal pertama.
Dampak perang dagang juga mulai terasa di dunia korporasi. Perusahaan pengiriman UPS mengumumkan akan memangkas 20.000 pekerja untuk efisiensi. Sementara General Motors menunda pertemuan investor karena masih menunggu kepastian kebijakan dagang terbaru.
Presiden Trump disebut-sebut akan melunakkan dampak dari tarif otomotif melalui perintah eksekutif, yang mencampur insentif kredit dan keringanan tarif terhadap beberapa komponen otomotif.
Dari sisi kinerja emiten, perusahaan energi asal Inggris BP melaporkan laba bersih anjlok 48% menjadi US$1,4 miliar. Penurunan ini terjadi akibat lemahnya bisnis kilang dan perdagangan gas.
Pasar energi juga tengah menanti laporan keuangan dari raksasa migas Amerika, Exxon Mobil dan Chevron, yang dijadwalkan keluar pekan ini.
Sementara itu, beberapa anggota OPEC+ dikabarkan akan kembali mengusulkan peningkatan produksi untuk bulan kedua berturut-turut pada Juni mendatang.
“Tambahan produksi dari OPEC+ bisa menjadi kabar buruk di tengah sentimen pasar yang sudah lemah, apalagi Kazakhstan tampaknya belum tertarik memangkas produksinya,” kata analis Saxo Bank, Ole Hansen.
Kazakhstan, anggota OPEC+, justru mencatatkan ekspor minyak naik 7% secara tahunan pada kuartal pertama. Lonjakan ini terjadi berkat peningkatan pasokan lewat pipa Caspian, menurut data resmi dan perhitungan Reuters.
Pasar juga menantikan data cadangan minyak AS dari American Petroleum Institute (API) dan Energy Information Administration (EIA). Para analis memperkirakan ada tambahan sekitar 0,5 juta barel minyak dalam stok selama sepekan terakhir hingga 25 April.
Jika benar, ini akan menjadi kenaikan mingguan kelima secara berturut-turut. Sebagai perbandingan, pada periode yang sama tahun lalu, stok minyak naik 7,3 juta barel. Rata-rata peningkatan dalam lima tahun terakhir mencapai 3,2 juta barel.