STOCKWATCH.ID (NEWYORK) – Harga minyak mentah dunia ditutup turun tipis pada penutupan perdagangan Rabu (16/7/2025) waktu setempat atau Kamis pagi (17/7/2025) WIB. Penurunan ini dipicu oleh naiknya stok bahan bakar di Amerika Serikat. Kekhawatiran pasar terhadap dampak ekonomi dari perang tarif AS juga ikut menekan harga. Kondisi ini menutupi sinyal positif terkait pemulihan permintaan minyak.
Mengutip CNBC International, kontrak berjangka Brent turun 19 sen atau 0,3% menjadi US$68,52 per barel, di London ICE Futures Exchange.
Adapun harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) melemah 14 sen atau 0,2% ke level US$66,38 per barel, di New York Mercantile Exchange.
Penurunan harga ini terjadi setelah data dari Energy Information Administration (EIA) menunjukkan lonjakan tajam pada stok bahan bakar di AS. Persediaan bensin naik 3,4 juta barel dalam sepekan terakhir. Padahal, analis justru memperkirakan akan terjadi penurunan sebanyak 1 juta barel.
Stok distilat, termasuk solar dan minyak pemanas, juga mengalami kenaikan 4,2 juta barel. Angka ini jauh di atas ekspektasi pasar yang hanya memperkirakan kenaikan sebesar 200.000 barel.
Sementara itu, persediaan minyak mentah AS turun 3,9 juta barel menjadi 422,2 juta barel. Penurunan ini lebih besar dibanding proyeksi sebelumnya yang hanya 552.000 barel.
Presiden Lipow Oil Associates, Andrew Lipow, menyebut pasar kecewa melihat kenaikan besar pada stok bensin dan distilat. Ia menjelaskan, kilang saat ini beroperasi hampir di level tertingginya tahun ini, sekitar 94% dari total kapasitas.
“Saya pikir pasar kecewa melihat kenaikan besar stok bensin dan distilat saat kilang bekerja hampir maksimal mengubah minyak menjadi produk jadi,” ujar Andrew Lipow.
Ia juga menyoroti penurunan permintaan bensin justru setelah libur 4 Juli, yang seharusnya menjadi puncak musim berkendara musim panas.
Volume produk bensin yang disuplai—yang menjadi indikator permintaan—turun 670.000 barel per hari menjadi 8,5 juta barel per hari.
Di sisi lain, perang tarif yang dilancarkan Presiden AS Donald Trump masih menjadi sorotan. Komisi Eropa menyiapkan kemungkinan pembalasan jika negosiasi perdagangan dengan Washington gagal.
Trump juga mengancam akan mengenakan tarif “sangat berat” kepada Rusia dalam 50 hari jika tidak ada kesepakatan untuk menghentikan perang di Ukraina.
Pasar keuangan AS pun merespons kabar bahwa Trump kemungkinan akan memecat Ketua The Fed Jerome Powell. Kabar ini mendorong kenaikan suku bunga jangka pendek AS. Investor kini memperkirakan akan ada pemangkasan suku bunga mulai September dan setidaknya satu lagi pada Desember.
Meski begitu, Trump menyatakan tidak berniat memecat Powell, tapi menolak mengesampingkan kemungkinan tersebut. Pemangkasan suku bunga biasanya mendorong pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi.
Federal Reserve melaporkan aktivitas ekonomi AS sedikit meningkat dalam beberapa pekan terakhir. Namun, prospek ke depan dinilai netral hingga sedikit pesimistis. Kenaikan tarif yang diterapkan pemerintahan Trump disebut menambah tekanan terhadap harga.
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dalam laporan bulanan menyatakan ekonomi global diperkirakan membaik pada paruh kedua 2025. OPEC menilai Brazil, China, dan India melampaui ekspektasi sementara AS dan Uni Eropa mulai bangkit dari tahun sebelumnya.
Di China, kilang milik negara mulai meningkatkan produksi setelah menyelesaikan perawatan untuk memenuhi lonjakan permintaan bahan bakar pada kuartal ketiga. Langkah ini juga bertujuan mengisi kembali stok solar dan bensin yang berada di level terendah dalam beberapa tahun.
Barclays memperkirakan permintaan minyak China pada paruh pertama tahun ini tumbuh 400.000 barel per hari secara tahunan menjadi 17,2 juta barel per hari.
Dari sisi pasokan, serangan drone selama tiga hari berturut-turut di wilayah Kurdistan, Irak, membuat produksi minyak terpangkas 140.000 hingga 150.000 barel per hari. Dua pejabat energi menyebut kerusakan infrastruktur membuat banyak fasilitas produksi terpaksa ditutup.
