STOCKWATCH.ID (NEWYORK) – Harga minyak mentah dunia ditutup turun tipis pada akhir perdagangan Jumat (18/7/2025) waktu setempat atau Sabtu pagi (19/7/2025) WIB. Sanksi baru Uni Eropa terhadap Rusia tak banyak mempengaruhi pasar. Pergerakan harga cenderung stagnan karena pasar merespons data ekonomi Amerika Serikat yang beragam.
Mengutip CNBC International, kontrak berjangka Brent turun 20 sen atau 0,3% menjadi US$69,32 per barel, di London ICE Futures Exchange.
Adapun harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) terpangkas 16 sen atau 0,2% ke level US$67,38 per barel, di New York Mercantile Exchange.
Sepanjang pekan ini, kedua acuan harga tersebut berada di jalur penurunan sekitar 1%.
Pasar mempertimbangkan dua sisi dari pergerakan harga. Di satu sisi, penurunan pembangunan rumah di Amerika Serikat menandakan tekanan ekonomi. Pembangunan rumah tapak pada Juni merosot ke level terendah dalam 11 bulan. Tingginya suku bunga dan ketidakpastian ekonomi membuat masyarakat enggan membeli rumah.
Namun di sisi lain, ada kabar positif dari sisi konsumsi. Survei sentimen konsumen Amerika Serikat untuk Juli menunjukkan perbaikan. Ekspektasi inflasi juga terus menurun. Kondisi ini memunculkan harapan The Federal Reserve dapat memangkas suku bunga lebih cepat. Jika itu terjadi, konsumsi bisa meningkat dan permintaan energi ikut terdorong.
Di Eropa, Uni Eropa menyepakati paket sanksi ke-18 terhadap Rusia. Sanksi ini mencakup larangan baru impor produk minyak dari Rusia, termasuk yang telah diolah. Langkah ini merupakan bagian dari tekanan atas invasi Rusia ke Ukraina.
Uni Eropa juga akan menetapkan batas harga mengambang untuk minyak mentah Rusia sebesar 15% di bawah harga pasar rata-rata. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menggantikan batas harga tetap sebelumnya sebesar US$60 per barel, yang dinilai tidak efektif.
“Pasar tidak terlalu bereaksi terhadap sanksi baru dari AS dan Eropa terhadap minyak Rusia,” tulis analis Capital Economics. “Hal ini mencerminkan keraguan investor bahwa Presiden Trump akan benar-benar menjalankan ancamannya, dan keyakinan bahwa sanksi baru dari Eropa tidak akan lebih efektif dari upaya sebelumnya.”
Capital Economics memperkirakan harga Brent bisa turun menjadi US$60 per barel pada akhir tahun ini, seiring lemahnya fundamental permintaan.
Uni Eropa juga resmi melarang impor seluruh produk minyak hasil olahan dari Rusia. Larangan ini tidak berlaku untuk produk dari negara mitra seperti Norwegia, Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan Swiss.
Uni Eropa turut memasukkan kilang minyak terbesar milik Rosneft di India ke dalam daftar sanksi. Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, mengonfirmasi langkah ini lewat unggahan di media sosial X.
India saat ini merupakan importir terbesar minyak mentah Rusia, disusul Turki sebagai yang ketiga. Data Kpler menunjukkan peran penting India dalam rantai pasok energi global.
Eropa sendiri sangat bergantung pada impor solar dan bahan bakar jet karena produksinya tidak mencukupi kebutuhan domestik. Larangan impor dari Rusia membuat harga diesel dan gasoil di AS serta Eropa naik.
“Harga diesel yang lebih tinggi belakangan ini telah mendorong crack spread ke level tertinggi sejak Februari,” ujar Janiv Shah, Wakil Presiden Pasar Minyak di Rystad Energy. Crack spread adalah ukuran margin keuntungan dari proses pengilangan.
Sementara itu, raksasa migas AS, Chevron, menutup akuisisi senilai US$55 miliar atas Hess Corporation. Langkah ini dilakukan setelah Chevron memenangkan gugatan besar terhadap ExxonMobil. Lewat akuisisi ini, Chevron resmi mendapatkan akses ke cadangan minyak terbesar dalam beberapa dekade terakhir di wilayah lepas pantai Guyana.