STOCKWATCH.ID (JAKARTA) – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami tekanan hebat dalam beberapa bulan terakhir. Sejak 19 September 2024, IHSG terus mengalami penurunan tajam. Hingga 18 Maret 2025, indeks sudah turun 1.682 poin atau 21,28% dari level tertingginya tahun ini.
Penurunan signifikan ini memicu penghentian sementara perdagangan saham pada Selasa (18/3/2025). Bursa Efek Indonesia (BEI) terpaksa melakukan trading halt setelah IHSG anjlok hingga 5% dalam sehari.
“Dengan ini kami menginformasikan bahwa hari ini, Selasa, 18 Maret 2025, telah terjadi pembekuan sementara perdagangan (trading halt) sistem perdagangan di BEI pada pukul 11:19:31 waktu Jakarta Automated Trading System (JATS) yang dipicu penurunan IHSG mencapai 5%,” demikian pengumuman resmi BEI.
Penghentian sementara ini dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Direksi BEI Nomor: Kep-00024/BEI/03-2020 tentang panduan penanganan perdagangan dalam kondisi darurat. Setelah 30 menit dihentikan, perdagangan kembali dilanjutkan pada pukul 11:49:31 waktu JATS tanpa ada perubahan jadwal.
Lantas, apakah kondisi pasar saham saham yang sedang bergejolak ini, mengurangi minat perusahaan untuk melakukan penawaran umum perdana atau Initial Public Offering (IPO) saham?
Direktur Utama BEI, Iman Rachman, menegaskan bahwa kondisi pasar saat ini tidak mengubah rencana IPO perusahaan-perusahaan yang sudah masuk dalam pipeline.
“Saya lihat secara pipeline kita nggak berubah ya. Ini kan (trading halt) kita bicara kemarin, IPO itu kan jangka panjang, masih ada setahun,” kata Iman di Jakarta, Rabu (19/3/2025).
Ia juga menyebut bahwa sejak awal tahun ini sudah ada 10 perusahaan yang resmi melantai di bursa.
Sebelumnya, Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna, mengungkapkan, hingga 14 Maret 2025, sudah ada 10 perusahaan yang resmi mencatatkan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan total dana yang dihimpun mencapai Rp3,88 triliun.
Tak hanya itu, masih ada 26 perusahaan lain yang sedang dalam antrean atau pipeline untuk melantai di BEI. Dari jumlah tersebut, mayoritas merupakan perusahaan dengan aset skala besar, yaitu di atas Rp250 miliar.
Pipeline IPO tahun ini didominasi oleh sektor consumer non-cyclicals atau kebutuhan pokok. Sebanyak 6 perusahaan berasal dari sektor consumer non-cyclicals.
Selain itu, sektor industri kesehatan (healthcare) juga cukup banyak dengan 4 perusahaan yang bersiap IPO. Sektor lainnya yang masuk pipeline adalah industri dasar (basic materials) sebanyak 3 perusahaan, serta sektor energi yang juga diisi oleh 3 perusahaan.
Sektor transportasi & logistik serta industri manufaktur (industrials) masing-masing menyumbang 2 dan 4 perusahaan dalam pipeline IPO tahun ini. Sementara itu, ada 1 perusahaan dari sektor financials, infrastructures, dan teknologi yang juga bersiap untuk mencatatkan sahamnya.
Menariknya, tidak ada perusahaan dari sektor properti dan real estate yang berada dalam pipeline kali ini. Hal ini menunjukkan tren pasar modal yang lebih condong ke sektor konsumsi, kesehatan, dan industri dasar.
Dari sisi skala aset, pipeline IPO tahun ini didominasi oleh perusahaan berskala besar. ” 25 perusahaan dengan aset di atas Rp250 miliar dan hanya 1 perusahaan dengan aset menengah, yaitu antara Rp50 miliar hingga Rp250 miliar,” kata Nyoman.