STOCKWATCH.ID (JAKARTA) – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil bangkit ke atas level 7.000. Kini muncul pertanyaan besar di kalangan pelaku pasar: akankah IHSG mampu menembus 8.000?
Menurut Adrian Joezer, Head of Equity Research Mandiri Sekuritas, pihaknya memproyeksikan IHSG berada di kisaran 7.160 hingga 7.600 pada akhir 2025. “Proyeksi kami di IHSG ini ya di sekitar 7.160 sampai ke 7.600 di akhir tahun ini ya,” ujar Adrian, di Jakarta, Senin (19/5/2025).
Mandiri Sekuritas menilai beberapa faktor bisa mendorong pasar saham Indonesia makin positif. Di antaranya adalah membaiknya likuiditas, potensi pemangkasan suku bunga acuan, serta kondisi fiskal yang mulai menunjukkan perbaikan.
Selain itu, ekspektasi terhadap pertumbuhan ekonomi yang mulai pulih dinilai menjadi pendorong utama masuknya aliran dana asing kembali ke pasar modal Indonesia.
“Jadi kalau kita ekspektasi pertumbuhan ekonomi ini sudah bottoming dan mungkin akan ada akselerasi dalam 6 bulan ke depan, 12 bulan ke depan, pasti dengan semestinya biasanya inflow di investor asing itu terjadi perbaikan juga ya ke pasar modal Indonesia,” jelas Adrian.
Adrian juga melihat bahwa pasar saham Indonesia cukup tangguh dibandingkan bursa global lainnya. Ketika pengumuman tarif pada 2 April lalu, penurunan IHSG hanya sekitar 8%–9%, jauh lebih rendah dibanding indeks lainnya.
Namun yang lebih mencolok adalah kecepatan pemulihannya. IHSG berhasil mencatatkan rebound tajam dalam sebulan terakhir. “IHSG itu sudah memberikan imbal hasil kenaikan cukup tajam ya, sekitar 11%, sehingga secara year-to-date ini sekarang sudah positif ya sampai ke hari Jumat 16 Mei 2025 kemarin di level sekitar 0,4%,” ungkapnya.
Adrian juga menyoroti dampak pelemahan nilai tukar rupiah terhadap pasar saham. Menurutnya, sensitivitas terhadap pelemahan tersebut relatif kecil, terutama di luar sektor perbankan.
“Jika kita lihat sensitivity di luar perbankan ya terhadap pelemahan nilai tukar rupiah pun sebenarnya tidak sensitif, itu di level operating profit itu sekitar mungkin kurang lebih 1,7%,” jelasnya.
Mandiri Sekuritas juga melihat bahwa valuasi saham Indonesia saat ini masih cukup menarik. Meskipun Price to Earnings (PE) mengalami kontraksi, pertumbuhan laba per saham (EPS) tetap solid. “Secara compounded annual growth EPS growth Indonesia itu sekitar 7,4% per tahunnya,” kata Adrian.
Adrian juga menggarisbawahi bahwa pasar saham Indonesia masih menjadi primadona di kawasan ASEAN, dengan ukuran pasar terbesar dan prospek pertumbuhan yang menarik.
Selain itu, yield dividen yang ditawarkan perusahaan-perusahaan Indonesia juga makin menarik. Dalam dua tahun terakhir, rata-rata berada di atas 4%–5%.
Lebih jauh, ia menyebut valuasi saham di Indonesia tergolong murah jika dibandingkan dengan 10 tahun terakhir. Saat ini, rasio PE dan PBV Indonesia berada di bawah rata-rata secara historis.
“Secara PE ratio secara PBV ratio, baik itu forward dan juga trailing, Indonesia ini berada di 1,5 sampai 2,5 kali standar deviasi di bawah rata-rata 10 tahunnya,” jelas Adrian.
Dengan kondisi tersebut, Adrian optimistis saham-saham Indonesia punya peluang untuk mencetak imbal hasil yang solid jika didukung oleh kebijakan global yang lebih akomodatif, termasuk potensi pelonggaran dari The Fed. “Jika memang dollar-nya itu bisa peak, saya rasa backdrop untuk emerging market di 6 bulan sampai 12 bulan ke depan ini bisa cukup menarik ya,” tutup Adrian.