STOCKWATCH.ID (BRASILIA) – Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot menghadiri Pertemuan Menteri Energi BRICS di Brasilia, Brazil, pada Senin (19/5) waktu setempat. Dalam forum ini, Yuliot memaparkan kebijakan energi Indonesia yang sejalan dengan tren global menuju transisi energi bersih.
Yuliot menekankan transisi energi di Indonesia harus dilakukan secara bersih, adil, berkelanjutan, dan inklusif. Tujuannya agar tidak ada pihak yang tertinggal. Ia juga menegaskan bahwa pendekatan transisi tidak bisa disamaratakan. Setiap negara, termasuk Indonesia, perlu menyesuaikan dengan kondisi nasional, prioritas pembangunan, dan kedaulatan teknologinya.
“Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia menghadapi tantangan besar untuk memastikan akses energi di wilayah-wilayah terpencil. Karena itu, kami fokus pada pengembangan energi terbarukan, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) untuk mendukung pertumbuhan yang inklusif,” ujar Yuliot, dalam keterangan resmi, Selasa (20/5/2025).
Ia menambahkan, posisi Indonesia dalam forum BRICS sangat unik dan bisa memberi warna tersendiri. Dalam mendorong energi bersih, Indonesia sudah menerapkan bahan bakar B40, yaitu campuran 40% biodiesel dari minyak sawit ke dalam solar. Pemerintah juga terus mendorong penggunaan bioenergi untuk kebutuhan memasak.
Indonesia punya cadangan mineral strategis yang besar. Termasuk cadangan nikel dan timah terbesar di dunia, serta potensi bauksit dan tembaga yang besar. Semua ini mendukung peta jalan hilirisasi senilai US$618 miliar untuk menciptakan nilai tambah dan pembangunan berkelanjutan.
“Karena itu, Indonesia menegaskan bahwa sumber daya alam adalah milik negara. Negara berhak mengatur dan mengelola rantai pasokan sumber daya, termasuk mineral kritis, sesuai prioritas nasional,” ujar Yuliot.
Ia juga menyampaikan bahwa energi harus dipandang sebagai aset strategis, bukan hanya komoditas. Indonesia saat ini sedang menggenjot produksi migas untuk mencapai 1 juta barel minyak per hari dan 12 BSCFD gas pada 2030. Energi nuklir juga sedang dijajaki sebagai sumber baseload rendah karbon. Reaktor pertama ditargetkan mulai beroperasi pada 2032, dengan kapasitas terpasang mencapai 36 gigawatt (GW) pada 2060.
“Selain itu, kami juga bangga karena Indonesia termasuk yang terdepan dalam pengembangan energi panas bumi. Saat ini ada 19 PLTP dengan kapasitas lebih dari 2,68 GW, dan kami menargetkan 6,2 GW pada 2030,” tutup Yuliot.