STOCKWATCH.ID (JAKARTA) –– Karut marut penyelenggaraan haji yang terjadi tahun lalu dan tahun ini menuai sorotan. Profesor Murniati Mukhlisin, penasehat Center for Sharia Economic Development, Institute for Development of Economics and Finance (CSED-INDEF), menegaskan pengelolaan haji ke depan tidak boleh lagi dilakukan setengah hati.
“Penyelenggaraan ibadah haji tahun depan, tahun 2026, tidak bisa lagi main-main, tidak bisa lagi bercanda. Pemerintah, apalagi sekarang sudah terbentuk Badan Penyelenggara Haji, harus benar-benar serius. Jika hal ini tetap dilakukan, dampaknya bisa-bisa kuota haji Indonesia akan dikurangi oleh Pemerintah Arab Saudi,” ujarnya.
Ia menilai penetapan kuota haji sepenuhnya bergantung pada kepiawaian pemerintah bernegosiasi dengan Arab Saudi. Pembatalan kuota haji Furoda bagi jemaah Indonesia dianggap sebagai salah satu kegagalan diplomasi.
“Kuncinya memang terletak pada kemampuan negosiasi, terutama untuk haji dan umrah-nya harus lebih kuat. Dengan adanya BP Haji, ada harapan besar bahwa tingkat negosiasi haji dan umrah akan menjadi lebih baik lagi,” katanya.
Selain kuota, Prof. Murniati juga menekankan pentingnya penguatan tata kelola dana haji dan umrah. Menurutnya, akuntabilitas publik perlu ditingkatkan karena dana ini menyangkut kepercayaan umat.
“Selama ini, informasi yang diberikan kepada publik bersifat terbatas dan teknokratik, sulit dipahami oleh masyarakat awam. Padahal dana haji bukan milik negara ataupun lembaga, melainkan milik jutaan rakyat Muslim yang mempercayakan pengelolaannya dengan penuh harap dan iman. Keterbukaan informasi menjadi pilar penting dalam membangun kepercayaan dan legitimasi,” ujarnya.
Dana haji dan umrah yang dikelola Indonesia dinilai punya potensi besar untuk mendukung pembangunan ekonomi umat. Namun, tantangan struktural dan kelembagaan masih menjadi penghambat. Untuk tahun 2025, dana yang dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) tercatat mencapai Rp188,86 triliun.
Sekitar 4,2 juta pekerja sektor haji dan umrah, mulai dari travel, katering, logistik, hingga UMKM, sangat bergantung pada tata kelola dana ini. Sayangnya, investasi dana haji masih banyak ditempatkan pada sektor konservatif seperti deposito syariah dengan imbal hasil rendah. Di sisi lain, Indonesia menghadapi defisit pembiayaan operasional haji yang pada 2024 tercatat Rp7,5 triliun.
CSED-INDEF juga menyoroti lemahnya koordinasi antar lembaga karena tumpang tindih peran antara Kementerian Agama, BPKH, dan operator haji. Ketiadaan roadmap nasional haji dan umrah hingga 2045 dinilai membuat arah pengelolaan dana dan pelayanan haji tidak terintegrasi.
“Kami merekomendasikan agar pemerintah segera membentuk lembaga setingkat kementerian yang mengintegrasikan kebijakan regulasi, pelayanan, dan pengelolaan dana haji. Selain itu, investasi dana haji perlu diarahkan ke sektor riil yang berdampak tinggi, seperti real estat halal, rumah sakit syariah, dan energi bersih,” pungkasnya.