STOCKWATCH.ID (NEWYORK) – Wall Street bergerak variatif pada akhir perdagangan Jumat (30/5/2025) waktu setempat atau Sabtu pagi (31/5/2025) WIB. Meski begitu, pasar saham Amerika Serikat (AS) ini mencatat kinerja yang solid sepanjang bulan Mei. Para investor tetap waspada karena masih ada ketidakpastian terkait arah kebijakan perdagangan.
Mengutip CNBC International, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) di Bursa Efek New York naik tipis 54,34 poin atau 0,13% menjadi 42.270,07. Indeks S&P 500 (SPX) 500 turun 0,48 poin atau 0,01% ke level 5.911,69. Sementara itu, indeks komposit Nasdaq (IXIC) yang didominasi saham teknologi, melemah 62,11 poin atau 0,32% ke posisi 19.113,77.
Selama bulan Mei, pasar saham AS mencetak kinerja positif. S&P 500 menguat 6,2% dan Nasdaq melesat 9,6%. Keduanya membukukan kenaikan bulanan terbaik sejak November 2023. Dow Jones juga mencatatkan kenaikan sebesar 3,9%.
Secara mingguan, S&P 500 naik 1,9%, Dow Jones menguat 1,6%, dan Nasdaq melonjak 2%.
Kinerja positif ini terjadi meski ada sentimen negatif dari pernyataan Presiden Donald Trump yang menyebut China telah “melanggar” kesepakatan perdagangan sementara yang telah disepakati.
Pernyataan itu disampaikan Trump melalui media sosial dan sempat membuat pasar bergejolak di awal sesi perdagangan.
Tak lama berselang, laporan Bloomberg yang mengutip sumber anonim menyebut bahwa pemerintahan Trump berencana memperluas pembatasan terhadap sektor teknologi China. Situasi ini semakin memperkeruh ketegangan perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia itu.
Sementara itu, Menteri Keuangan AS, Bessent, dalam wawancara dengan Fox News menyampaikan negosiasi dagang antara AS dan China saat ini “sedikit terhenti.” Hal ini menimbulkan keraguan di kalangan investor mengenai kemungkinan tercapainya kesepakatan jangka panjang.
Masalah perdagangan juga menjadi makin rumit setelah pengadilan menghentikan sebagian besar tarif Trump terhadap China. Namun, keputusan itu sempat dibalik oleh pengadilan banding yang memberikan penangguhan hingga pekan depan.
Pemerintahan Trump disebut tengah mempertimbangkan penggunaan ketentuan dalam Trade Act 1974 untuk memberlakukan tarif baru hingga 15% selama 150 hari, menurut laporan The Wall Street Journal.
Kondisi ini menambah ketidakpastian bagi pasar yang sudah cukup rentan terhadap risiko ekonomi global dan potensi ancaman resesi.
“Ini waktu yang canggung,” ujar Jay Hatfield, CEO Infrastructure Capital Management. “Kalau kamu seorang investor, kamu ingin bertaruh pada laporan keuangan yang bagus, bukan pada cuitan soal tarif.”