Rabu, Agustus 20, 2025
35 C
Jakarta

Penjualan 51% Saham BCA Era Megawati Disebut Rugikan Negara, Begini Jawaban BCA

STOCKWATCH.ID (JAKARTA) – Penjualan 51% saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) atau BCA pada akhir 2002 kembali menjadi perbincangan hangat. Asal tahu saja, saham tersebut dilepas kepada konsorsium Farallon Capital, afiliasi Djarum Group.

Adalah Panitia Khusus BLBI Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI yang mengungkap dugaan kerugian negara dalam divestasi tersebut. Nilai kerugian ditaksir mencapai triliunan rupiah.

Menurut Pansus, transaksi itu penuh kejanggalan. Aset BCA saat itu diperkirakan mencapai Rp117 triliun ditambah Obligasi Rekap Pemerintah senilai Rp60 triliun. Total nilai wajar BCA dihitung sekitar Rp89 triliun. Namun mayoritas saham BCA justru dilepas dengan harga hanya Rp5 triliun. Angka itu dinilai terlalu rendah dan tidak masuk akal.

Dari perhitungan Pansus, potensi kerugian negara bisa mencapai Rp138 triliun. Nilai itu berasal dari gabungan Rp49 triliun subsidi bunga Obligasi Rekap dan Rp89 triliun nilai wajar BCA.

Temuan DPD ini memicu reaksi politik. Komisi III DPR mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut dugaan rekayasa dalam akuisisi saham BCA oleh Djarum Group. Sejumlah ekonom dan akademisi ikut bersuara. Salah satunya, ekonom Universitas Gadjah Mada, Sasmito Hadinegoro. Ia menyebut negara memiliki hak untuk mengambil kembali 51% saham BCA tanpa harus membayar, jika terbukti merugikan negara.

Menanggapi isu lama soal akuisisi saham mayoritas oleh Grup Djarum, manajemen BCA akhirnya buka suara. Manajemen menegaskan informasi yang beredar tidak sesuai fakta.

Corporate Secretary BCA, I Ketut Alam Wangsawijaya, menjelaskan polemik itu muncul kembali setelah adanya pemberitaan yang menyinggung dugaan rekayasa dalam akuisisi 51% saham BCA di era pemerintahan Presiden Megawati. Dalam pemberitaan tersebut disebut nilai pasar BCA pada Desember 2002 mencapai Rp117 triliun dengan utang Rp60 triliun kepada negara.

“Informasi yang menyebutkan pembelian 51% saham BCA dengan nilai hanya sekitar Rp5 triliun diduga melanggar hukum karena nilai pasar BCA saat itu dinilai sekitar Rp117 triliun, merupakan informasi yang tidak benar,” kata Ketut dalam keterbukaan informasi di laman BEI, Rabu (20/8/2025).

Ketut menegaskan angka Rp117 triliun yang kerap disebut sebenarnya merujuk pada total aset BCA, bukan nilai pasar. Nilai pasar ditentukan oleh harga saham di bursa dikalikan jumlah saham beredar. Setelah melakukan Penawaran Umum Perdana saham atau Initial Public Offering (IPO) pada tahun 2000, harga saham BCA sudah terbentuk lewat mekanisme pasar.

Ia menyebut, saat strategic private placement dilakukan, nilai pasar BCA berdasarkan harga saham rata-rata di Bursa Efek Indonesia hanya sekitar Rp10 triliun. Angka ini yang menjadi acuan valuasi dalam transaksi, bukan Rp117 triliun.

Dengan demikian, kata Ketut, akuisisi 51% saham oleh konsorsium FarIndo yang keluar sebagai pemenang tender merupakan hasil cerminan kondisi pasar kala itu. Tender saham dilakukan pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) secara transparan dan akuntabel.

Selain itu, manajemen juga membantah kabar BCA memiliki utang Rp60 triliun kepada negara yang diangsur Rp7 triliun per tahun. Menurut Ketut, angka Rp60 triliun tersebut sebenarnya merupakan aset obligasi pemerintah yang tercatat di neraca BCA. “Seluruhnya telah selesai pada tahun 2009 sesuai ketentuan dan hukum yang berlaku,” tegasnya.

Artikel Terkait

Tumbuh 41,6%, Laba Emiten Rumah Sakit (SILO) Rp476,41 Miliar di Semester I 2025

STOCKWATCH.ID (JAKARTA) – PT Siloam International Hospitals Tbk (SILO), ...

Dolar AS Bergerak Variatif, Pasar Tunggu Sinyal dari Jackson Hole

STOCKWATCH.ID (WASHINGTON) – Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS)...

Transaksi Harian 7 Juta Kali, SeaBank Kantongi Laba Rp214 Miliar di Semester I-2025!

STOCKWATCH.ID (JAKARTA) – PT Bank Seabank Indonesia mencatat kinerja...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Populer 7 Hari

Berita Terbaru