STOCKWATCH.ID (NEWYORK) – Taylor Swift kembali mencetak sejarah. Pada 12 Agustus, ia mengumumkan album studio ke-12 berjudul The Life of a Showgirl di situs resminya. Ia juga memperkenalkan era baru dengan nuansa jingga yang langsung menyebar ke seluruh dunia.
Hal ini disampaikan Misty L. Heggeness dalam artikel yang diterbitkan Time.com pada Minggu (17/8/2025) waktu setempat. Heggeness pernah menjabat sebagai principal economist sekaligus senior advisor di U.S. Census Bureau. Saat ini ia menjadi associate professor di bidang public affairs dan ekonomi di University of Kansas. Ia dikenal luas sebagai pakar isu gender dan ekonomi. Dalam waktu dekat, ia akan merilis buku berjudul SWIFTYNOMICS: Women in Today’s Economy yang diterbitkan UC Press.
Dalam artikel tersebut, Heggeness mengungkapkan, sehari setelah pengumuman Taylor, penyanyi asal Amerika Serikat itu membuat kejutan di podcast New Heights milik Jason dan Travis Kelce. Saat Taylor memuji sweatshirt yang dipakai Travis, sang bintang NFL menjawab, “Terima kasih, sayang, warnanya sama seperti matamu.” Kalimat itu membuat penggemar histeris.
Taylor kemudian membocorkan detail lebih banyak. Album terbarunya akan dirilis pada 3 Oktober. Ia juga menampilkan sampul album beserta daftar lagu. Banyak pihak menyebut pengumuman ini bukan sekadar peluncuran musik, melainkan pelajaran berharga dalam strategi pemasaran modern.
Kurang dari 24 jam setelah pengumuman, warna jingga mendominasi. Empire State Building, Times Square, hingga Union Station di Kansas City berubah jadi lautan jingga. Brand besar ikut meramaikan. M&Ms, Playdoh, dan Sesame Street tampil dengan kampanye serba jingga. Olive Garden menampilkan roti bawang putih ala showgirl. Petco membawa Meredith, kucing kesayangan Taylor, dalam nuansa jingga. Bahkan Aquaphor hand lotion ikut berkilau dengan sentuhan sparkle.
Fenomena ini memicu istilah baru: Swiftynomics. Heggeness, menyebut fenomena ini sebagai bukti kekuatan konsumsi perempuan dalam menggerakkan pasar.
“Swiftynomics adalah kemampuan perempuan mendominasi pola konsumsi dan pemasaran dengan memanfaatkan pengalaman hidup mereka untuk keuntungan ekonomi,” kata Heggeness.
Taylor sendiri melihat dirinya bukan hanya sebagai musisi. Ia menegaskan posisinya dalam bisnis emosi manusia. “Saya berada dalam bisnis emosi manusia. Saya lebih memilih memimpin dengan hati dalam hal seperti ini,” ucap Taylor ketika berbicara tentang keputusannya membeli kembali katalog musik dari Shamrock Capital.
Pendekatan itu terbukti ampuh. Sepanjang kariernya, Taylor selalu berinvestasi untuk memahami penggemarnya. Ia membangun karya dari emosi—baik miliknya maupun penggemarnya.
Lebih dari satu juta pendengar menyimak podcast New Heights saat ia mengumumkan album terbarunya. Setiap detail tentang Taylor punya daya tarik luar biasa. “Emosi manusia itu laku dijual,” tulis Heggeness.
Dalam situasi global yang penuh ketidakpastian, termasuk isu ketidakadilan bagi imigran dan perempuan di pasar tenaga kerja, musik Taylor hadir sebagai pelipur lara. Penggemarnya rela mengeluarkan uang untuk membeli CD, vinyl, hingga kaset demi merasakan kedekatan emosional dengan sang idola.
“Bisnis yang dibangun dari emosi manusia adalah rencana bisnis yang cerdas dan strategis,” kata Heggeness. Ia menambahkan, “Ekonomi yang tumbuh dari emosi perempuan autentik adalah ekonomi yang seharusnya kita bangun bersama.”
Fenomena ini menegaskan satu hal: Taylor Swift bukan sekadar penyanyi. Ia adalah kekuatan ekonomi. Ia menjual perasaan, dan dunia dengan senang hati membelinya.
