STOCKWATCH.ID (NEWYORK) – Wall Street ditutup nyaris datar pada akhir perdagangan Kamis (22/5/2025) waktu setempat atau Jumat pagi (23/5/2025) WIB. Pelaku pasar masih dibayangi kekhawatiran soal kenaikan imbal hasil obligasi dan membengkaknya utang negara.
Mengutip CNBC International, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) di Bursa Efek New York) turun tipis 1,35 poin dan ditutup di 41.859,09. Indeks S&P 500 (SPX) 500 melemah 2,6 poin atau 0,04% ke level 5.842,01. Sementara itu, Indeks komposit Nasdaq (IXIC) yang didominasi saham teknologi, naik 53,09 poin atau setara 0,28% menjadi 18.925,73.
Pelemahan ini terjadi setelah anggota DPR AS menyetujui rancangan undang-undang baru yang berisi pemotongan pajak dan tambahan anggaran militer. RUU ini kini akan dibahas di Senat.
Investor khawatir, kebijakan tersebut bisa memperburuk defisit anggaran AS yang sudah tinggi. Kantor Anggaran Kongres (Congressional Budget Office) memperkirakan RUU ini berpotensi menambah beban fiskal hampir US$4 triliun.
Kondisi ini membuat imbal hasil obligasi AS naik tajam. Yield obligasi pemerintah AS tenor 30 tahun sempat menyentuh 5,161%, tertinggi sejak Oktober 2023, sebelum sedikit turun menjelang akhir sesi. Yield obligasi 10 tahun juga sempat melonjak, lalu kembali turun dari level tertingginya.
Jed Ellerbroek, Manajer Portofolio di Argent Capital Management, menjelaskan bahwa dampaknya bisa berbeda dalam jangka pendek dan panjang.
“Secara jangka pendek, RUU pajak ini bagus untuk ekonomi. Ini akan mendorong pertumbuhan PDB di 2026. Pajak dikurangi untuk banyak orang, belanja pemerintah naik, terutama untuk pertahanan, dan hal-hal itu bisa merangsang ekonomi,” ujar Ellerbroek dalam wawancara dengan CNBC.
Namun, ia juga memperingatkan dalam jangka panjang, dampaknya bisa merugikan.
“Yield naik, yang artinya harga obligasi turun karena Treasury makin tidak menarik dan kurang dipercaya. Defisit anggaran tetap tinggi dalam waktu lama tanpa tanda-tanda membaik,” tambahnya.
Kondisi ini diperparah dengan lelang obligasi pemerintah AS tenor 20 tahun yang buruk sehari sebelumnya. Hal ini memicu lonjakan yield dan mendorong aksi jual saham secara masif.
Jika RUU ini lolos di Senat, kekhawatiran pasar bisa makin dalam. Investor khawatir, permintaan terhadap obligasi pemerintah AS bisa menurun lebih jauh, sementara inflasi bisa kembali meningkat akibat tarif universal dari kebijakan Trump.