STOCKWATCH.ID (JAKARTA) – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengumumkan berakhirnya kebijakan stimulus restrukturisasi kredit perbankan untuk dampak Covid-19 pada 31 Maret 2024. Menurut OJK, industri perbankan di Tanah Air telah siap menghadapi kebijakan ini.
“Berbagai indikator pada Januari 2024 menunjukkan perbankan Indonesia dalam kondisi yang baik,” ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar, dalam keterangan resmi di Jakarta, Minggu (31/3/2024).
Menurutnya, indikator tersebut antara lain tercermin dari rasio kecukupan modal (CAR) sebesar 27,54%, kondisi likuiditas yang ditunjukkan oleh Liquidity Coverage Ratio (LCR) sebesar 231,14%, dan Alat Likuid/Non Core Deposit (AL/NCD) mencapai 123,42%. Data tersebut diharapkan dapat menjadi landasan kuat dalam mengelola risiko di tengah ketidakpastian ekonomi global. Selain itu, kualitas kredit juga tetap terjaga di bawah batas 5%, dengan NPL Gross sebesar 2,35% dan NPL Nett sebesar 0,79%.
Lantas bagaimana para bankir merespon kebijakan OJK ini?
Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) menyambut baik keputusan OJK tersebut. Direktur Utama BRI, Sunarso, mengungkapkan bahwa kebijakan tersebut terbukti telah menyelamatkan sebagian besar bisnis UMKM selama pandemi CovidD-19 yang mulai meluas di Indonesia pada tahun 2020.
BRI tak lagi menggunakan kebijakan tersebut secara internal sejak tahun 2023 sebagai upaya penerapan prudential banking. Sunarso menjelaskan, BRI sudah menyiapkan langkah antisipatif merespons berakhirnya relaksasi restrukturisasi Covid -19 pada bulan Maret 2024, dengan menyiapkan soft landing strategy.

Untuk mengimbangi risiko, BRI melakukan pencadangan yang memadai. NPL Coverage BRI hingga akhir Desember 2022 berada di level 305,73%. Meskipun turun menjadi 229,09% pada Desember 2023, cadangan tersebut masih dianggap memadai jika terjadi pemburukan kredit.
Sunarso, yang juga menjabat Ketua Himbara (Himpunan Bank Milik Negara), menegaskan, outstanding kredit restrukturisasi kredit terdampak Covid -19 per Desember 2023 turun menjadi Rp54,5 triliun dari Rp107,2 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya. BRI telah mengambil langkah strategis untuk melakukan penyelamatan terhadap UMKM yang memiliki peran krusial dalam perekonomian Indonesia.
“UMKM memberikan kontribusi sebesar 60,3% dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Selain itu, UMKM menyerap 97% tenaga kerja dan menyediakan 99% lapangan kerja di Indonesia,” kata Sunarso. Fokus BRI dalam memberdayakan dan membangkitkan aktivitas pelaku UMKM menjadi motor kinerja keuangan BRI saat pandemi.
Senada dengan BRI, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) menyatakan, nilai restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 telah mengalami penurunan yang signifikan dan sebagian besar debitur telah memasuki tahap normalisasi.
Corporate Secretary Bank Mandiri, Teuku Ali Usman, menjelaskan bahwa kondisi usaha para debitur saat ini telah kembali dapat memenuhi kewajiban pembayaran kredit baik cicilan pokok maupun bunga. Menurutnya, berakhirnya kebijakan tersebut sudah mempertimbangkan kondisi perekonomian Indonesia yang telah pulih dari pandemi Covid-19 hampir di semua sektor.

“Saat ini kondisi debitur terdampak Covid-19 telah mencapai soft landing, sebelum berakhirnya kebijakan stimulus restrukturisasi kredit oleh OJK,” ujar Ali dalam keterangan resminya, di Jakarta, Senin (1/4/2024).
Adapun, sektor yang paling terdampak saat pandemi Covid-19 di Bank Mandiri antara lain sektor Pengangkutan dan Pergudangan, serta Penyediaan Akomodasi dan Penyediaan Makan Minum. Bank Mandiri akan tetap memantau secara ketat kondisi usaha debitur melalui Early Warning Signal, dan dapat memberikan restrukturisasi lanjutan apabila dibutuhkan.
“Khusus untuk debitur yang mendapat restrukturisasi Covid-19, mayoritas sudah masuk ke level normal (sebelum pandemi). Hanya tersisa sedikit di sektor-sektor tertentu,” ungkapnya. Ali juga menyampaikan bahwa pemberian insentif yang sudah diambil oleh Pemerintah dan OJK sudah tepat sehingga kondisi perekonomian relatif lebih cepat pulih.
Sejalan dengan kondisi usaha yang membaik, Bank Mandiri optimistis kinerja para debitur akan terus tumbuh. “Di Bank Mandiri, Loan at Risk (LaR) sudah lebih rendah dibanding masa pandemi, ini menjadi indikator utama bahwa kita sudah siap tumbuh melampaui posisi sebelum Covid-19,” jelasnya.
Sampai dengan Desember 2023, NPL Bank Mandiri secara bank only telah menurun mencapai 1,02% dengan NPL Coverage Ratio yang cukup memadai mencapai 384,36%.
Dukungan serupa terhadap keputusan OJK dalam mengakhiri stimulus restrukturisasi kredit perbankan terdampak Covid-19 juga datang dari Perkumpulan Bank Syariah Indonesia (Asbisindo). Menurut Ketua Umum Asbisindo, Hery Gunardi, perbankan syariah Tanah Air saat ini telah menunjukkan resiliensi yang tinggi pasca-pandemi, meskipun kondisi perekonomian global masih mengalami ketidakpastian.
“Hal ini tak terlepas dari strategi dan respon pemerintah yang tepat dalam menghadapi krisis akibat pandemi maupun ketidakpastian ekonomi global. Strategi dan respon cepat ini membantu meringankan nasabah perbankan yang terdampak pandemi,” kata Hery, di Jakarta, Senin (1/4/2024).

Selain itu, Hery menambahkan bahwa pemulihan ekonomi semakin menunjukkan peningkatan, dengan tingkat inflasi yang terkendali dan pertumbuhan investasi di dalam negeri yang bertumbuh.
“Faktor-faktor tersebut menjadi bukti kondisi perekonomian pasca-pandemi semakin pulih,” ungkapnya.
Laporan Statistik Perbankan Syariah OJK menunjukkan pertumbuhan positif pada aset bank umum syariah (BUS) dan unit usaha syariah (UUS), yang mencapai Rp868,98 triliun pada akhir 2023, tumbuh 11,1% secara tahunan.
“Data-data tersebut menunjukkan bahwa industri perbankan syariah cukup resilien dan terus bertumbuh. Untuk itu, kami optimis bahwa pasar siap dengan berakhirnya restrukturisasi, yang efektif per 31/3/2024,” tutup Hery.
Wakil Direktur Utama Bank Syariah Indonesia (BSI), Bob T. Ananta secara tegas menyatakan dukungannya terhadap kebijakan OJK mencabut kebijakan restrukturisasi kredit perbankan terkait Covid-19. “Yang jelas, kita mendukung untuk pencabutan itu. Karena kita melihat sekarang perekonomian sudah mulai kembali seperti sebelum wabah Covid,” tegasnya di Jakarta, Senin (1/4/2024).
Menurut Bob, BSI telah melakukan pemetaan sejak awal terkait dampak pandemi Covid-19 terhadap restrukturisasi kredit. Ia meyakini para nasabah BSI telah siap menghadapi penarikan kebijakan tersebut seiring dengan pemulihan ekonomi yang mulai terlihat.
Menanggapi pertanyaan mengenai rasio Non-Performing Financing (NPF), Bob mengungkapkan, BSI telah melakukan antisipasi dengan membagi portofolio kredit yang terdampak Covid-19 ke dalam beberapa kategori. Beberapa bagian portofolio sudah pulih dan dapat dilepas, sementara beberapa lainnya masih memerlukan bantuan.
“Dalam konteks pencabutan kebijakan oleh OJK, BSI memastikan bahwa proses restrukturisasi yang sudah berjalan akan tetap dilanjutkan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya,” paparnya.

BSI juga menegaskan bahwa posisi pencadangan Perseroan cukup kuat, dengan Cash Coverage Ratio hampir mencapai 200%. “Pencadangan kita juga cukup, kita punya Cash Coverage Ratio sekitar 190%, InsyaAllah akan cukup dan tidak masalah,” tandas Bob.
