Jumat, November 28, 2025
33.6 C
Jakarta

Danamon, Simak 7 Poin Penting Arah dan Prospek Makro Ekonomi Indonesia 2026

STOCKWATCH.ID (JAKARTA) – PT Bank Danamon Indonesia Tbk (Danamon) senantiasa berkomitmen untuk menghadapi tantangan di industri finansial dengan terus menyediakan produk dan layanan keuangan untuk mendukung perencanaan serta pengelolaan keuangan di tengah perubahan lanskap ekonomi yang terus berkembang. Hal itu dikemukakan, Hosianna Evalita Situmorang, Ekonom Danamon dalam acara Journalist Class, di Jakarta, Kamis (27/11/2025).

Dalam acara tersebut, Hosianna memaparkan kinerja makroekonomi Indonesia serta arah dan prospek di tahun 2026. Ada tujuh poin penting yang perlu dicermati menjelang akhir tahun ini hingga tahun 2026.

Pertama, trend suku bunga. Pasar keuangan saat ini mengantisipasi penurunan suku bunga The Fed sekitar 25 bps (0,25%) hingga akhir tahun ini.  Efek jangka pendeknya terasa di SOFR yang terus melandai dan Quantitative Tightening yang resmi dihentikan oleh The Fed per 01 Desember 2025.

Implikasinya, hal ini mendukung potensi penurunan biaya pendanaan global dan memperkuat transmisi kebijakan di pasar negara berkembang maupun emerging markets (Ems) seperti Indonesia (selama inflasi tetap terkendali pada rentang target Bank Indonesia).

Kedua, dinamika pasar valuta asing dan Rupiah. Sejak Oktober 2025, BI menjaga stabilitas rupiah dengan menahan suku bunga di 4,75% setelah melakukan pelonggaran sebesar 125 bps pada tahun 2025, dengan ekspansi likuiditas yang tercermin dari penurunan INDONIA (4%) dan imbal hasil SRBI (sekitar 4,85%) per pertengahan November 2025. Imbal hasil obligasi pemerintah juga mencatatkan penurunan yang signifikan sejak awal tahun, tercatat saat ini untuk tenor 2 tahun di 4,8% dan tenor 10 tahun di 6,2%.

Namun, suku bunga deposito 1 bulan hanya turun 56 bps, dari 4,81% di awal 2025 menjadi 4,25% pada Oktober 2025, disebabkan oleh tingginya pengenaan suku bunga khusus yang ditawarkan kepada deposan besar, hingga 27% dari total simpanan per Oktober 2025. Pada saat yang sama, suku bunga kredit hanya turun 20 bps, dari 9,20% di awal tahun menjadi 9,00%, menegaskan lambatnya transmisi pelonggaran moneter ke biaya kredit.

Sedangkan, arus dana asing (foreign flow) menunjukkan tren perbaikan, tercermin dari pergerakan harga saham domestik (IHSG) yang kembali menguat. Sementara itu, perkembangan kurva imbal hasil obligasi Indonesia berada pada kondisi steepening seiring dengan reli yang lebih kuat di obligasi tenor jangka pendek.

Hingga awal November 2025, rupiah terus mengalami pelemahan terhadap USD dan mata uang lainnya. Adapun, per 6 November, performanya terhadap USD menurun di angka 3,66%. Pergerakan USD/IDR diproyeksikan bergerak di kisaran 16.500–16.700.

Ketiga, sektor potensial di Indonesia. Di tengah tantangan yang ada, terdapat beberapa sektor dengan daya tahan yang masih terjaga berkat masifnya pertumbuhan e-commerce serta normalisasi sektor pariwisata, seperti transportasi, F&B, Information & Communication Technology (ICT), dan Business services.

Pelonggaran kebijakan Bank Indonesia (BI) serta pemberian insentif KLM diperkirakan akan menurunkan biaya pendanaan dan mendorong percepatan kredit modal kerja dan menyokong belanja modal. Sektor logistik dan pariwisata tetap menunjukkan kinerja kuat, sementara sektor properti berpotensi mengalami pemulihan apabila suku bunga KPR menurun dan tingkat penyerapan stok properti meningkat.

Keempat, paket stimulus ekonomi. Dalam upaya mendorong pertumbuhan dan menjaga daya beli masyarakat, Kementerian Keuangan melaksanakan berbagai stimulus yang terbagi dalam empat kuartal. Stimulus tersebut mencakup program berulang seperti bantuan pangan, subsidi PPh 21 di berbagai sektor, potongan 50% untuk iuran BPJS-TK untuk gig worker dan non-wage worker, perpanjangan tarif pajak 0,5% untuk UMKM, serta pembebasan PPN untuk pembelian rumah. Stimulus terbesar terjadi pada 4Q25 dengan total paket sebesar Rp54,6 triliun.

Indeks PMI Manufaktur menunjukkan logam, mineral, dan leather footwear merupakan tiga subsektor teratas dalam hal ekspansi manufaktur. Meski begitu, F&B dan transportasi menjadi industri yang paling diuntungkan dari fokus stimulus 8+4.

Indeks Keyakinan Konsumen (CCI) Indonesia di Oktober 2025 terpantau naik tipis menjadi 121,2 (+0,08% YoY) didorong oleh perbaikan lapangan kerja saat ini (-2,0% YoY) dan tingkat pengangguran yang rendah (4,85%). Selain itu, penyaluran bantuan sosial tunai (BLT-KS) sebesar Rp30 triliun pada bulan Oktober 2025 juga meningkatkan kepercayaan pada kelompok berpendapatan Rp1-2 juta.

Meski demikian, realisasi pendapatan rumah tangga masih mengalami penurunan, meski jumlah PHK telah menurun menjadi 45.426 orang (-19,8% YoY). Penurunan pendapatan rumah tangga masih terjadi karena penghasilan penduduk yang bekerja makin tertekan. Tekanan tersebut timbul dari naiknya proporsi jumlah pekerja serabutan dan pekerja keluarga dalam penduduk bekerja, dari 21,93% di Agustus 2023 menjadi 22,54% pada Agustus 2025.

Sebaliknya, penjualan ritel domestik menunjukkan ketahanan dengan indeks mencapai 219,7, atau tumbuh 4,3% secara tahunan (YoY). Sektor-sektor utama yang mendorong pertumbuhan ini meliputi suku cadang dan aksesori kendaraan (+11,4% YoY), makanan dan minuman (+6,4% YoY), serta bahan bakar kendaraan bermotor (+5,4% YoY).

Sektor ICT menjadi satu-satunya sektor yang mengalami pelemahan. Walaupun demikian, pertumbuhan penjualan ritel ke depan diperkirakan tetap stabil di kisaran 5-6% YoY. Sejalan dengan tren tersebut, volume transaksi uang elektronik diproyeksikan terus meningkat pada tahun 2026. Hal tersebut didukung oleh keberlanjutan stimulus fiskal hingga kuartal IV 2025 dan kuartal I 2026, sebagai sarana untuk menjaga daya beli masyarakat hingga Hari Raya Idul Fitri.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menempatkan dana fiskal sebesar Rp276 triliun dari total posisi kas fiskal tahun 2025 sebesar Rp425 triliun ke bank-bank komersial guna mendorong pertumbuhan kredit, yang berpotensi meningkatkan Dana Pihak Ketiga (DPK) sekitar 2,14%. Dana tersebut direalokasikan dari posisi kas fiskal senilai Rp350 triliun yang saat ini sebagian besar ditempatkan di Bank Indonesia (BI).

Kebijakan fiskal terpantau ekspansif. Hingga Oktober 2025, defisit APBN mencapai Rp479,7 triliun atau 2,02% dari PDB, seiring akselerasi belanja yang berlanjut ke Rp2.593 triliun (meningkat 1,4% YoY), sementara pendapatan negara turun menjadi Rp2.113,3 triliun (turun 6% YoY) akibat penurunan penerimaan non-pajak.

Adapun, total alokasi untuk program prioritas mencapai Rp1.694,1 triliun, dengan penerima terbesar berdasarkan program adalah Makan Bergizi Gratis (MBG) sebesar Rp335 triliun (naik 189% dari APBN 2025), yang mayoritas dialokasikan menjadi bagian dari anggaran pendidikan, tepatnya sebesar 29% (Rp757,8 triliun), subsidi energi sebesar Rp402,4 triliun, dan bantuan sosial sebesar Rp508,2 triliun.

Dari alokasi tersebut, Pulau Jawa tetap menjadi penerima terbesar secara total dengan Rp814,7 triliun (48%). Namun, jika dilihat per kapita, wilayah Indonesia Timur, khususnya Maluku dan Papua, menjadi penerima terbesar dengan Rp12,5 juta per kapita.

Kelima, pendanaan Koperasi Merah Putih. Rasio pendanaan terbesar terkonsentrasi di Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp25,7 triliun yang disalurkan pada 8,563 unit koperasi. Kemudian di wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, Aceh, dan Sumatra Utara, yang mencerminkan kesiapan dan kapasitas pemerintah daerah hingga level desa/kelurahan untuk menjalankan KMPD di wilayah tersebut.

Di tahun 2026, anggaran belanja pemerintah diproyeksikan sekitar Rp3.800 triliun, sementara transfer ke daerah menurun menjadi Rp693 triliun. Hal ini mencerminkan kendali pemerintah pusat yang lebih kuat atas sumber daya fiskal, yang berpotensi mengubah prioritas infrastruktur dan pembangunan.

Sementara itu, liabilitas pemerintah menunjukkan peningkatan risiko pembiayaan ulang (refinancing) hingga 2029, dengan beban bunga dan jatuh tempo SBN yang meningkat. Kondisi ini dapat memengaruhi strategi obligasi jangka panjang, terutama di tengah ruang fiskal yang makin ketat.

Keenam, outlook sektor otomotif. Pada Oktober 2025, pasar otomotif domestik menunjukkan tren yang beragam, dengan penjualan sepeda motor (2W) sedikit pulih menjadi 590.362 unit, naik 8,4% YoY. Sedangkan, untuk penjualan mobil (4W) masih menurun secara tahunan, meski pulih secara bulanan menjadi 74.019 unit, turun 4,4% YoY. Di sisi ekspor, sepeda motor (2W) mengalami penurunan signifikan menjadi 49.009 unit, atau turun 15,7% YoY.

Momentum domestik di kuartal IV 2025 dan harga minyak kelapa sawit yang tinggi diperkirakan akan mendorong permintaan, ditambah efek stimulus fiskal yang mulai meningkatkan daya beli jangka pendek, sehingga penjualan sepeda motor (2W) diprediksi naik menjadi 6,5 juta unit.

Sementara penjualan mobil (4W) diperkirakan tersokong menjadi 785 ribu unit (2024: 865 ribu unit) melalui kenaikan wholesale dari Battery Electric Vehicles (BEVs) menjelang 31 Desember 2025. Tanggal tersebut adalah tenggat akhir insentif untuk BEV impor (CBU).

Provinsi yang membutuhkan mitigasi risiko karena memiliki rasio Non-Performing Loan (NPL) lebih tinggi, yaitu Sulawesi Barat dan Sumatera Utara.

Pada September 2025, registrasi kendaraan sepeda motor baru meningkat 1,09% MoM, menunjukkan tren positif yang mendorong perkiraan penjualan wholesale 2W lebih tinggi pada 4Q25 dibandingkan tahun sebelumnya, didukung oleh paket stimulus 8+4.

Sementara itu, penjualan grosir mobil (4W) diperkirakan tetap lebih rendah pada kuartal IV-2025, meskipun ada frontloading penjualan Completely Built-Up (CBU) EV menjelang berakhirnya insentif pajak pada Desember 2025, karena persaingan harga yang terus berlangsung di pasar otomotif Indonesia.

Ketujuh, kekuatan dan peluang di ASEAN. Divergensi pertumbuhan terlihat jelas di kawasan ASEAN, dengan Vietnam (7,5%) dan Filipina (5,3%) menjadi pemimpin, sementara Indonesia tetap stabil berkat permintaan domestik yang solid.

Inflasi yang rendah di sebagian besar negara ASEAN membuka ruang bagi pelonggaran moneter, sementara imbal hasil riil positif di Indonesia dan Filipina terus menarik arus modal masuk, mendukung stabilitas pasar keuangan regional.

Namun, risiko eksternal di kawasan ASEAN tetap ada, termasuk tarif AS, fluktuasi harga komoditas, dan perlambatan ekonomi Tiongkok, sementara beberapa tantangan struktural juga muncul dari ketergantungan ekspor di sejumlah negara. Indonesia relatif lebih tahan banting dan masih menawarkan suku bunga riil yang positif.

- Advertisement -

Artikel Terkait

Jelang Nataru, Pemerintah Tambah Kuota LPG Subsidi 350 Ribu Ton!

STOCKWATCH.ID (JAKARTA) — Pemerintah menambah kuota liquid petroleum gas...

Kabar Gembira! Pemerintah Sebar Diskon Tiket Pesawat hingga Tol untuk Libur Akhir Tahun

STOCKWATCH.ID (JAKARTA) — Pemerintah bergerak cepat menggenjot pertumbuhan ekonomi...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Populer 7 Hari

Berita Terbaru