STOCKWATCH.ID (WASHINGTON) – Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) kembali menguat pada penutupan perdagangan Selasa (3/6/2025) waktu setempat atau Rabu pagi (4/6/2025) WIB. Penguatan dolar terjadi setelah sempat menyentuh titik terendah enam minggu terhadap euro. Namun, pasar masih dibayangi kekhawatiran soal dampak perang dagang yang dilancarkan pemerintahan Presiden Donald Trump.
Mengutip CNBC International, dolar AS naik 0,7% terhadap yen dan diperdagangkan di level 143,73. Euro turun 0,5% menjadi US$1,1386, meski sebelumnya sempat mencapai US$1,1454 yang merupakan level tertinggi dalam enam minggu terakhir.
Penguatan dolar terjadi di tengah minimnya sentimen baru. Kepala Strategi Pasar Bannockburn Global Forex LLC, Marc Chandler, mengatakan penguatan dolar kali ini belum cukup kuat. “Kita mengalami penurunan besar pada dolar dan hari ini terjadi sedikit pantulan kembali… Tapi saya tidak melihat ada berita besar yang membuat dolar benar-benar berbalik arah,” ujarnya. “Saya kira pantulan ini masih sangat terbatas,” lanjutnya.
Dari sisi data ekonomi, inflasi di zona euro tercatat melambat dan berada di bawah target 2% dari Bank Sentral Eropa. Hal ini meningkatkan spekulasi pasar bahwa pemangkasan suku bunga akan dilakukan dalam waktu dekat.
Sepanjang tahun ini, dolar AS telah melemah sekitar 9% terhadap euro. Sementara itu, pasar saham global mulai pulih setelah terpukul tajam pada awal April akibat naik-turunnya ancaman tarif dari Presiden Trump. Tapi tekanan terhadap dolar belum sepenuhnya hilang.
Pemerintah AS berencana menggandakan tarif impor baja dan aluminium menjadi 50% mulai Rabu. Pemerintah juga memberi batas waktu kepada negara mitra untuk mengajukan penawaran terbaik dalam negosiasi dagang.
Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, menyampaikan bahwa Presiden Trump dan Presiden China Xi Jinping kemungkinan akan melakukan panggilan telepon dalam waktu dekat guna meredakan ketegangan dagang. Namun, Kementerian Perdagangan China menolak tuduhan AS yang menyebut Beijing telah melanggar kesepakatan sebelumnya.
Analis dari ING, Francesco Pesole, menyebut isu perdagangan masih jadi sorotan utama pelaku pasar. “Perkembangan perdagangan masih menjadi faktor utama. Laporan menyebut China mulai punya kendali atas AS lewat rantai pasok chip dan mineral langka,” ujarnya. “Trump dan Xi Jinping akan berbicara pekan ini, dan pembicaraan langsung seperti ini kadang mampu meredakan ketegangan. Jadi masih ada peluang kejutan positif yang bisa mendorong dolar,” tambahnya.
Data ekonomi terbaru dari AS menunjukkan adanya peningkatan jumlah lowongan kerja pada April. Namun, jumlah pemutusan hubungan kerja juga naik. Kondisi ini mencerminkan pelemahan pasar tenaga kerja di tengah memburuknya prospek ekonomi akibat kebijakan tarif.
Selain isu dagang, pasar juga tertekan oleh kekhawatiran fiskal AS. Isu “jual aset Amerika” mulai menguat, terlihat dari penurunan saham dan obligasi pemerintah dalam beberapa bulan terakhir.
Kekhawatiran fiskal makin tajam minggu ini. Senat AS tengah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) pemotongan pajak dan belanja pemerintah. RUU ini diperkirakan akan menambah utang pemerintah sebesar US$3,8 triliun dalam sepuluh tahun ke depan. Saat ini, total utang pemerintah AS sudah mencapai US$36,2 triliun.
Meski dolar menguat, pelaku pasar opsi valuta asing masih bersiap menghadapi kemungkinan pelemahan lanjutan.
Poundsterling Inggris juga ikut melemah 0,3% ke level US$1,35045. Investor menunggu pernyataan dari pejabat Bank of England dan hasil lelang obligasi jangka panjang guna menilai kepercayaan terhadap keuangan Inggris.