STOCKWATCH.ID (LONDON) – Bursa saham Eropa ditutup di zona hijau pada penutupan perdagangan Jumat (2/5/2025) waktu setempat. Penguatan ini terjadi setelah data ketenagakerjaan Amerika Serikat untuk April dirilis di atas ekspektasi pasar.
Kabar positif itu langsung mendorong sentimen investor. Apalagi ditambah sinyal dari Tiongkok yang menyatakan terbuka untuk melakukan negosiasi dagang dengan Amerika Serikat.
Mengutip CNBC International, indeks Stoxx 600 ditutup menguat 1,7%. Kenaikan ini dipimpin oleh saham-saham sektor industri dan teknologi yang masing-masing naik lebih dari 2%.
Di Jerman, indeks DAX juga naik lebih dari 2%. Sementara di Prancis, indeks CAC mengalami penguatan serupa.
Indeks FTSE 100 di London naik 1,2% dan mencatat rekor sebagai rentetan penguatan harian terpanjang dalam sejarah bursa tersebut. Sejak awal tahun, FTSE 100 sudah menguat lebih dari 5%.
Sehari sebelumnya, sebagian besar pasar di Eropa tutup karena libur Hari Buruh pada 1 Mei. Namun, pada perdagangan terakhir sebelum libur, FTSE 100 berhasil naik tipis 0,02%. Ini menjadi sesi hijau ke-14 secara berturut-turut, menyamai rekor yang terakhir terjadi pada tahun 2017.
Kabar baik juga datang dari raksasa energi Shell. Saham perusahaan ini naik 2,2% setelah mencatatkan laba kuartal I yang melampaui ekspektasi. Shell juga mengumumkan program buyback saham terbaru senilai US$3,5 miliar.
Di pasar mata uang, euro bertahan di zona positif. Ini terjadi setelah data awal menunjukkan inflasi di zona euro stabil di angka 2,2% pada April. Padahal sebelumnya para ekonom memperkirakan inflasi bakal turun ke 2,1%.
Sementara itu, pasar saham Asia-Pasifik juga ikut terdorong naik pada hari yang sama. Ini dipicu oleh kabar dari Beijing yang sedang mengevaluasi kemungkinan membuka pembicaraan dagang dengan Washington.
Pemerintah Tiongkok kembali menyampaikan permintaan agar AS menghapus seluruh tarif sepihak. Saat ini, bea masuk atas produk Tiongkok di AS sudah mencapai angka tiga digit.
Sebelumnya, Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, mengatakan bahwa kini “giliran Tiongkok yang harus meredakan ketegangan.” Ia menyebut ketegangan dagang ini telah mendorong naik harga barang konsumen di AS sekaligus memperlambat ekonomi Tiongkok.