STOCKWATCH.ID (WASHINGTON) – Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) kembali tertekan pada penutupan perdagangan Jumat (11/4/2025) waktu setempat atau Sabtu pagi (12/4/2025) WIB. Tekanan ini terjadi setelah investor kehilangan kepercayaan di tengah kekacauan perang dagang yang memanas.
Mengutip CNBC International, mata uang negeri Paman Sam itu melemah terhadap hampir semua mata uang utama dunia. Dolar bahkan anjlok ke level terendah dalam satu dekade terhadap franc Swiss dan menyentuh titik terendah dalam tiga tahun terakhir terhadap euro.
Penyebab utama kekacauan ini datang dari langkah China yang menaikkan tarif impor terhadap produk AS menjadi 125%, naik tajam dari sebelumnya 84%. Langkah ini adalah balasan langsung terhadap keputusan Presiden AS, Donald Trump, yang sebelumnya menaikkan tarif atas produk China menjadi total 145%.
Kondisi ini langsung memicu aksi jual besar-besaran di pasar global. Saham-saham berguguran, bahkan obligasi AS yang biasa jadi tempat aman juga ikut kena imbas. Imbal hasil obligasi tenor 10 tahun mencatat kenaikan mingguan terbesar sejak 2001.
Meski begitu, di Wall Street indeks S&P 500, Dow Jones, dan Nasdaq sempat pulih tipis menjelang akhir pekan. Seluruh indeks utama itu diperkirakan akan menutup pekan dengan kenaikan, meski sepanjang minggu dihantui sentimen buruk soal perang dagang global.
Brad Bechtel, Kepala Divisi Valuta Asing Global di Jefferies, menyebut dolar melemah karena anggapan bahwa ekonomi AS sudah tidak sekuat sebelumnya.
“Ada rotasi besar-besaran. Investor asing mulai diversifikasi dari AS ke kawasan lain seperti zona euro,” kata Bechtel. “Mereka juga sadar perlu lindungi portofolio dari risiko mata uang. Itu yang bikin tekanan ke dolar makin besar.”
Di sisi lain, data terbaru menunjukkan sentimen konsumen AS anjlok tajam di bulan April. Sementara itu, ekspektasi inflasi 12 bulan ke depan melonjak ke titik tertinggi sejak 1981. Kekhawatiran terhadap tensi perang dagang bikin situasi makin tidak menentu.
Dolar tercatat turun 0,71% terhadap franc Swiss ke posisi 0,81795. Ini memperpanjang pelemahan yang sudah terjadi sejak sesi sebelumnya. Bahkan ini jadi pelemahan mingguan terbesar dolar terhadap franc sejak November 2022.
Terhadap yen Jepang, dolar juga melemah 0,24% ke 144,05. Ini merupakan level terendah sejak September 2024 dan berpotensi jadi penurunan mingguan terdalam sejak akhir bulan lalu.
Sementara itu, emas melonjak tajam ke atas US$3.200 per ounce. Harga emas spot naik 1,99% menjadi US$3.234,98 per ounce. Dolar yang lemah jadi salah satu pemicu utama kenaikan ini.
Presiden Bank Sentral Eropa, Christine Lagarde, menegaskan pihaknya siap menggunakan seluruh instrumen yang ada untuk menjaga stabilitas keuangan.
“Kami punya rekam jejak kuat dalam menyiapkan alat untuk meredam gejolak,” kata Lagarde, Jumat waktu setempat.
Euro langsung merespons positif. Mata uang tunggal Eropa itu menguat 0,85% ke level US$1,12970, tertinggi sejak Februari 2022. Bahkan, euro juga naik 0,27% terhadap poundsterling.
Pound sendiri menguat 0,67% terhadap dolar AS menjadi US$1,30540.
Indeks dolar AS, yang mengukur kekuatan dolar terhadap beberapa mata uang utama seperti yen dan euro, turun 0,288% ke 100,23. Ini adalah level terendah sejak April 2022 dan berpotensi menjadi penurunan mingguan terbesar sejak awal bulan lalu.
Di Asia, yuan China juga ikut tertekan terhadap euro. Mata uang zona euro itu bahkan mencetak rekor tertinggi dalam 11 tahun terhadap yuan di pasar luar negeri.
Pekan ini, yuan sempat menyentuh level terlemah sepanjang sejarah terhadap dolar di pasar dalam negeri dan luar negeri, meski kemudian sedikit pulih. Terakhir, dolar turun 0,37% terhadap yuan offshore ke 7,22865.
Win Thin, Kepala Strategi Pasar Global di Brown Brothers Harriman, menyebut penurunan dolar kini tak cuma soal resesi atau suku bunga.
“Ini soal kepercayaan. Ada kehilangan kredibilitas terhadap dolar dan kebijakan ekonomi AS,” kata Thin.
“Biasanya saat pasar panik, dolar menguat karena jadi tempat aman. Tapi sekarang malah yen dan franc Swiss yang jadi pilihan. Dolar justru ditekan,” ujarnya.