STOCKWATCH.ID (WASHINGTON) – Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terpantau kembali menguat pada akhir perdagangan Selasa (27/5/2025) waktu setempat atau Rabu pagi (28/5/2025) WIB. Dolar naik didorong oleh anjloknya imbal hasil obligasi jangka panjang Jepang serta data kepercayaan konsumen AS yang membaik.
Mengutip CNBC International, dolar AS naik 1% terhadap yen Jepang ke level 144,26. Sementara itu, euro melemah 0,5% ke posisi US$1,1335.
Pelemahan yen terjadi setelah imbal hasil obligasi super panjang Jepang turun tajam akibat kekhawatiran pasar soal penerbitan surat utang. Kementerian Keuangan Jepang dilaporkan telah mengirim kuesioner kepada pelaku pasar utama terkait penerbitan obligasi dan kondisi pasar terkini.
Langkah ini muncul di tengah kenaikan imbal hasil obligasi jangka super panjang Jepang ke rekor tertinggi. Kondisi ini dipicu oleh turunnya permintaan dari pembeli tradisional seperti perusahaan asuransi jiwa serta kekhawatiran pasar global terhadap utang Jepang yang terus meningkat.
“Ini sangat dipengaruhi oleh pergerakan pasar obligasi global, khususnya yang terjadi di Jepang akhir-akhir ini,” ujar Eric Theoret, analis strategi valuta asing di Scotiabank, Toronto.
Ia menambahkan, “Pelaku pasar menanggapi langkah Kementerian Keuangan yang mengirim kuesioner ke dealer utama soal penerbitan surat utang.”
Penguatan dolar AS juga didorong oleh data yang menunjukkan kepercayaan konsumen di Amerika Serikat pada Mei jauh lebih baik dari perkiraan para ekonom. Ini menjadi sinyal positif bagi pasar bahwa ekonomi AS tetap tangguh meski di tengah ketidakpastian global.
Sementara itu, euro turut tertekan oleh data inflasi Prancis yang turun ke level terendah sejak Desember 2020. Penurunan inflasi ini menambah tekanan terhadap mata uang tunggal Eropa tersebut.
Keputusan Presiden AS Donald Trump yang membatalkan ancaman tarif 50% atas impor dari Uni Eropa juga menjadi katalis penguatan dolar. Menurut Uni Eropa, keputusan ini memberikan “dorongan baru” untuk melanjutkan pembicaraan dagang.
Sebelumnya, pasar khawatir bahwa tarif bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi dan memicu inflasi kembali. Namun, sejak Amerika Serikat dan Tiongkok sepakat untuk memangkas tarif mereka awal bulan ini, kekhawatiran itu mulai mereda.
Meski begitu, dalam jangka menengah hingga panjang, pandangan terhadap dolar AS masih cenderung negatif. “Kita masih berada di lingkungan yang mendukung pelemahan dolar AS dalam jangka menengah hingga panjang,” kata Theoret.
Presiden Bank Sentral Eropa, Christine Lagarde, juga menyampaikan bahwa euro bisa menjadi alternatif yang layak bagi dolar AS. Namun, hal itu hanya bisa terjadi jika negara-negara Uni Eropa mampu memperkuat arsitektur keuangan dan keamanannya.
Investor kini menanti kelanjutan proses pengesahan rancangan undang-undang belanja dan pajak di Kongres AS. RUU ini diperkirakan akan menambah triliunan dolar utang baru.
Partai Republik di Senat menyatakan akan mendorong perubahan besar terhadap RUU tersebut setelah sebelumnya lolos tipis di DPR AS.