STOCKWATCH.ID (WASHINGTON) – Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) tergelincir pada penutupan perdagangan Kamis (15/5/2025) waktu setempat atau Jumat pagi (16/5/2025) WIB. Pelemahan ini terjadi setelah munculnya sejumlah data ekonomi yang menunjukkan perlambatan belanja konsumen di tengah ketidakpastian prospek ekonomi AS.
Mengutip CNBC International, Departemen Perdagangan AS mencatat, penjualan ritel hanya naik 0,1% pada April. Padahal, pada Maret sebelumnya, angka ini direvisi naik menjadi 1,7%. Kenaikan di bulan Maret sebagian besar didorong oleh percepatan pembelian, seperti mobil, sebelum pengumuman tarif Presiden Donald Trump pada 2 April lalu.
Indeks dolar AS, yang mengukur kekuatan dolar terhadap sekeranjang mata uang utama, turun 0,11% ke level 100,89. Sempat menyentuh penurunan harian sebesar 0,43%. Euro ikut menguat tipis 0,02% ke US$1,1176.
Dalam laporan terpisah, Departemen Tenaga Kerja AS juga mengungkapkan bahwa indeks harga produsen (PPI) turun 0,5% pada April. Padahal pada Maret, data ini sempat direvisi menjadi stabil. Penurunan kali ini dipengaruhi oleh melemahnya permintaan untuk perjalanan udara dan akomodasi hotel.
Kebijakan perdagangan yang proteksionis dan pengetatan imigrasi yang diterapkan oleh Presiden Trump disebut-sebut menjadi salah satu penyebab turunnya aktivitas wisata di AS.
Meski begitu, klaim tunjangan pengangguran mingguan masih stabil di angka 229.000. Ini sesuai dengan ekspektasi pasar, meskipun jumlah lowongan kerja terlihat semakin terbatas.
“Saya curiga ini bukan hanya soal tarif. Saya rasa ada kelemahan mendasar pada konsumen AS,” kata Thierry Wizman, pakar strategi valuta asing dan suku bunga global di Macquarie, New York.
“Memang ada pengaruh dari tarif, tapi yang utama adalah lemahnya daya beli konsumen AS. Kuartal II tahun ini kemungkinan akan lemah dalam hal pertumbuhan ekonomi karena diawali dengan sentimen yang buruk dan ketidakpastian kebijakan. Masalah ini belum sepenuhnya selesai, meski sudah ada kesepakatan dengan China akhir pekan lalu,” tambahnya.
Dolar sempat melonjak lebih dari 1% pada awal pekan ini. Lonjakan tersebut terjadi setelah AS dan China sepakat untuk menunda penerapan sebagian besar tarif selama 90 hari, mengurangi kekhawatiran terhadap resesi global.
Namun kini, pasar mulai menurunkan ekspektasi soal pemangkasan suku bunga dari bank sentral AS. Menurut data LSEG, peluang pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin oleh The Fed pada pertemuan September berada di angka 75,4%. Sebelumnya, pasar memperkirakan pemangkasan bisa terjadi lebih cepat, yakni pada Juli.
Komentar dari sejumlah pejabat The Fed juga menunjukkan bahwa mereka masih menunggu lebih banyak data sebelum mengambil keputusan terkait kebijakan moneter.
Ketua The Fed Jerome Powell dalam pernyataannya Kamis tidak menyinggung arah kebijakan suku bunga. Ia hanya menyampaikan bahwa pihaknya merasa perlu meninjau ulang pendekatan terhadap inflasi dan pekerjaan setelah pengalaman inflasi dalam beberapa tahun terakhir.
Sementara itu, Gubernur Federal Reserve Michael Barr mengatakan ekonomi AS masih berada di jalur yang kuat. Ia menambahkan bahwa inflasi perlahan mulai mendekati target 2%, meskipun kebijakan perdagangan yang agresif masih menciptakan ketidakpastian terhadap prospek ekonomi.
Terhadap yen Jepang, dolar turun 0,73% menjadi 145,68. Sedangkan terhadap poundsterling, dolar juga melemah 0,23% menjadi US$1,329, menyusul pertumbuhan ekonomi Inggris yang lebih baik dari perkiraan di awal 2025.
Seiring meredanya ketegangan dagang, sejumlah broker besar seperti Goldman Sachs, JPMorgan, dan Barclays mulai memangkas proyeksi resesi AS serta memperhalus pandangan mereka terkait pelonggaran kebijakan The Fed tahun ini.