STOCKWATCH.ID (WASHINGTON) – Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) melonjak terhadap sejumlah mata uang utama pada penutupan perdagangan Jumat (13/6/2025) waktu setempat atau Sabtu pagi (14/6/2025) WIB. Lonjakan ini terjadi setelah Israel melancarkan serangan udara ke Iran, memicu lonjakan permintaan terhadap aset safe haven di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik.
Mengutip CNBC International, indeks dolar, yang mengukur kekuatan greenback terhadap sejumlah mata uang utama, naik 0,3% ke level 98,19. Kenaikan ini sekaligus menandai pemulihan dolar dari posisi terendahnya dalam tiga tahun terakhir yang sempat terjadi sehari sebelumnya.
Penguatan dolar terjadi seiring dengan eskalasi konflik Timur Tengah. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan negaranya melancarkan “operasi militer yang ditargetkan” terhadap program nuklir dan rudal balistik Iran.
“Operasi ini akan terus berlangsung selama diperlukan untuk menghilangkan ancaman ini,” kata Netanyahu dalam pernyataan resminya.
Sebagai balasan, Iran mengonfirmasi telah meluncurkan lebih dari 100 drone dan rudal balistik ke arah Israel. Serangan tersebut dikonfirmasi baik oleh pemerintah Iran maupun Pasukan Pertahanan Israel. Kantor berita resmi Iran menyebut aksi tersebut sebagai awal dari “Operasi Balas Dendam Keras.”
Penguatan dolar ini semakin menegaskan posisinya sebagai aset aman, bahkan melampaui Swiss franc dan yen Jepang yang juga dikenal sebagai aset pelindung nilai. Dolar AS menguat masing-masing sebesar 0,1% dan 0,4% terhadap kedua mata uang tersebut.
Menurut analis mata uang dari ING, kabar serangan Israel menjadi katalis penting bagi reli dolar yang selama ini dinilai oversold dan undervalued. Namun mereka menambahkan, seharusnya penguatan dolar bisa lebih besar lagi jika menilik reaksi negatif di pasar saham dan obligasi.
“Namun korelasi tradisional dolar telah berubah belakangan ini, dan penurunan 1,5% pada futures indeks S&P 500 tampaknya ikut menahan laju penguatan dolar,” tulis ING dalam catatannya.
Para investor kini mengamati seberapa panjang dan dalam konflik di Timur Tengah ini akan berlangsung. Dampaknya terhadap harga minyak juga menjadi perhatian utama. Menurut ING, situasi saat ini mengarah pada periode ketegangan yang lebih panjang dibandingkan dengan episode-episode sebelumnya.
Sebelum serangan ini terjadi, dolar terus tertekan oleh ketidakpastian kebijakan yang dipicu oleh pemerintahan Presiden Donald Trump serta ekspektasi penurunan suku bunga oleh The Fed. Ekspektasi pemangkasan suku bunga telah menjadi faktor utama pelemahan dolar dalam beberapa pekan terakhir.
Bahkan pada Kamis, indeks dolar sempat menyentuh level terendah sejak akhir Maret 2022. Di saat yang sama, banyak investor melakukan aksi short terhadap dolar, bertaruh bahwa nilainya akan terus turun. Namun survei dari Bank of America menunjukkan bahwa keyakinan terhadap strategi short dolar tetap kuat meski pasar mulai berbalik.
Adam Turnquist, Kepala Strategi Teknis di LPL Financial, menyebut bahwa lonjakan harga minyak juga turut memperkuat dolar. “Harga minyak yang melonjak meningkatkan risiko inflasi dan membuat pelaku pasar mengurangi ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed tahun ini,” ujarnya kepada CNBC.
Tak hanya dolar, emas dan minyak juga jadi sorotan investor pada Jumat. Harga emas sempat menyentuh level tertinggi dalam dua bulan terakhir sebelum terkoreksi. Harga spot naik 1,4% ke US$3.431,09 per ons troi, sementara kontrak berjangka untuk pengiriman Agustus naik 1,5% ke US$3.452,70.
“Berita ini menimbulkan ketakutan besar terhadap potensi eskalasi dan konflik kawasan yang lebih luas,” tulis analis Deutsche Bank dalam catatannya.
Meski sempat melonjak, reaksi pasar mulai mereda menjelang siang waktu London. Ekonom Rabobank menyebut pergerakan pasar saat itu terlihat “cukup tertahan.”
Sementara itu, harga minyak mentah mengalami lonjakan paling tajam. Kontrak minyak sempat melonjak hingga 13% sebelum kembali turun di sesi berikutnya karena kekhawatiran pasokan minyak akibat konflik yang memanas.