STOCKWATCH.ID (WASHINGTON) – Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah terhadap sejumlah mata uang utama pada penutupan perdagangan Kamis (12/6/2025) waktu setempat atau Jumat pagi (13/6/2025) WIB. Pelemahan ini dipicu oleh meningkatnya ketegangan di Timur Tengah dan ekspektasi pelonggaran kebijakan moneter akibat inflasi yang masih rendah.
Mengutip CNBC International, sepanjang tahun ini, dolar telah turun sekitar 10% terhadap sejumlah mata uang utama dunia. Pada sesi perdagangan Eropa, indeks dolar jatuh ke level terendah sejak April 2022.
Sentimen pelaku pasar juga terpengaruh oleh meningkatnya risiko geopolitik. Pemerintah AS memutuskan untuk memindahkan personel dari kawasan Timur Tengah karena situasi keamanan yang memburuk. Hal ini sempat mendorong harga minyak naik hingga 4% sebelum akhirnya stabil kembali.
Di tengah kekhawatiran ini, aset-aset safe haven menjadi incaran. Franc Swiss dan yen Jepang menguat. Dolar turun 1% terhadap franc dan melemah 0,7% terhadap yen. Harga emas juga ikut naik 1,9% menjadi US$3.406,50 per ons troi.
Data ekonomi dari AS menunjukkan tekanan inflasi masih terkendali. Indeks harga produsen dan konsumen untuk bulan Mei naik lebih rendah dari perkiraan. Penurunan harga bahan bakar, mobil, dan jasa seperti tiket pesawat ikut meredakan tekanan inflasi.
Namun, sebagian ekonom memperkirakan inflasi bisa kembali naik dalam beberapa bulan mendatang. Ini karena dampak kebijakan tarif AS yang mulai terasa di berbagai sektor.
Imbal hasil obligasi AS juga mengalami penurunan. Yield obligasi 10 tahun turun 3,5 basis poin ke bawah 4,38%, sementara yield obligasi dua tahun turun 2,7 basis poin ke 3,92%. Pergerakan ini mencerminkan ekspektasi pasar terhadap potensi pemangkasan suku bunga oleh The Fed pada September.
“Menurut saya, kemungkinan akan menjadi kombinasi keduanya. Karena itu, masuk akal jika The Fed memilih menunggu dan melihat dulu sebelum buru-buru memangkas suku bunga,” kata Shane Oliver, Kepala Strategi Investasi dan Kepala Ekonom AMP Capital.
Sementara itu, kesepakatan dagang antara AS dan China yang sebelumnya disebut “kesepakatan besar” oleh Presiden Donald Trump tampaknya tak lagi memberi efek positif ke pasar. Trump bahkan menambah ketidakpastian dengan mengatakan bahwa dalam satu hingga dua pekan ke depan, AS akan mengirim surat berisi ketentuan dagang ke puluhan negara lain.
“Pasar tampaknya tidak punya pilihan selain merespons ancaman tarif Trump — meski hanya sebatas gertakan untuk membawa negara lain ke meja perundingan,” kata Charu Chanana, Kepala Strategi Investasi di Saxobank. “Kesenjangan antara posisi ‘risk-on’ dan risiko dunia nyata sudah terlalu lebar,” tambahnya.
Kebijakan tarif yang tidak konsisten dari Trump telah membuat pasar keuangan global bergejolak sepanjang tahun. Banyak investor memilih menarik dana dari aset-aset AS, termasuk dolar, karena khawatir terhadap inflasi dan perlambatan ekonomi.
Euro pun ikut terdongkrak dan sempat naik 1% ke US$1,16, level tertinggi sejak Oktober 2021.