STOCKWATCH.ID (JAKARTA) – Perang antara Iran dan Israel kian memanas, memicu kekhawatiran global akan inflasi yang meningkat. Dampak paling terasa adalah lonjakan harga minyak dunia lebih dari 10% WoW menjadi $72 per barel.
Menurut Arfian Prasetya Aji (Economist KISI Asset Management), jika konflik berlanjut, hal ini dapat memengaruhi Selat Hormuz (jalur vital 20% suplai minyak global), yang juga akan mendorong harga minyak. Pada Senin, (16/6/2025) lalu, Iran melakukan aksi serangan balasan yang mengakibatkan lumpuhnya kilang minyak terbesar di Israel. Sedangkan pada Selasa, (17/6/2025), 2 kapal tanker minyak yang melalui Selat Hormuz terbakar. (S&P Global, Reuters)
Secara historis, kata Arfian, kenaikan harga minyak bisa memperburuk inflasi dan outlook pertumbuhan ekonomi global. Bagi Indonesia, lanjutnya, sebagai negara net importir minyak ini bisa mengancam ketahanan fiskal karena membengkaknya anggaran pemerintah dan potensi pelebaran defisit fiskal.
Namun, jelas Arfian, ada kabar baik dimana APBN 2025 sudah mengasumsikan harga minyak di $82 per barel. Jadi, harga saat ini masih dalam batas aman dan defisit fiskal diharapkan tetap terjaga. Ditambah lagi, defisit anggaran hingga akhir Mei 2025 relatif rendah (Rp21 triliun atau 0,09% PDB), menunjukkan target defisit tahunan sebesar 2,53% PDB masih sangat mungkin tercapai.
Sebagai pembanding, pada periode yang sama tahun lalu (akhir Mei 2024), defisit anggaran tercatat Rp21,8 triliun atau 0,10% PDB. (Kementerian Keuangan RI)
“Kekhawatiran utama kami akan dinamika ini adalah kenaikan harga minyak global dapat memicu inflasi di Amerika Serikat, tidak hanya dari harga energi saja tetapi juga dari biaya logistik dan produksi barang lain. Kondisi ini akan memperburuk prospek inflasi, yang dapat mempersempit ruang gerak The Fed untuk menurunkan suku bunga,” katanya.
Arfian menambahkan, ika The Fed terpaksa terus mempertahankan suku bunga tinggi, arus modal keluar dari emerging markets seperti Indonesia dapat kembali terjadi. Ini semakin menekan nilai tukar serta turut mempersempit ruang gerak bank sentral domestik. Akibatnya, biaya pinjaman bagi pemerintah dan korporasi akan tetap tinggi, yang bisa menghambat pertumbuhan ekonomi nasional kita yang sedang melambat. (konrad)
