STOCKWATCH.ID (WASHINGTON) – Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah terhadap sejumlah mata uang utama pada penutupan perdagangan Senin (9/6/2025) waktu setempat atau Selasa pagi (10/6/2025) WIB. Pelemahan ini terjadi setelah penguatan sebelumnya yang dipicu data tenaga kerja, sementara pelaku pasar kini menanti hasil pembicaraan penting antara Amerika Serikat dan China.
Mengutip CNBC International, para pejabat tinggi dari kedua negara bertemu di London untuk membahas kesepakatan awal yang sempat dicapai bulan lalu di Jenewa. Kesepakatan itu sempat meredakan ketegangan antara dua ekonomi terbesar dunia.
Pembicaraan ini berlangsung di tengah kondisi genting. China sedang menghadapi tekanan deflasi, sementara ketidakpastian perdagangan menekan sentimen bisnis dan konsumen di Amerika Serikat. Situasi ini membuat investor mulai mempertanyakan status dolar sebagai aset aman.
Data menunjukkan bahwa ekspor China anjlok pada Mei. Pertumbuhan ekspor melambat ke level terendah dalam tiga bulan. Bahkan, ekspor ke Amerika Serikat tercatat turun tajam sebesar 34,5% secara tahunan—penurunan terbesar sejak Februari 2020 saat pandemi COVID-19 mulai mengguncang perdagangan global.
Dolar AS tercatat turun sekitar 0,3% terhadap yen Jepang dan diperdagangkan di level 144,43 yen pada akhir sesi pagi waktu setempat. Yen Jepang mendapat dorongan dari rencana pemerintah untuk membeli kembali obligasi pemerintah jangka panjang guna mengendalikan lonjakan imbal hasil.
Sementara itu, euro menguat 0,3% terhadap dolar AS dan berada di US$1,1423. Pasar masih merespons kebijakan moneter Bank Sentral Eropa yang kemungkinan akan mengakhiri siklus pelonggaran suku bunganya.
Poundsterling juga ikut menguat terhadap dolar AS sebesar 0,3% ke level US$1,3558.
“Dolar kesulitan menemukan arah yang jelas setelah rilis data pekan lalu, dan tampaknya pada paruh kedua tahun ini, The Fed harus bersikap lebih dovish untuk mendukung kondisi keuangan,” ujar Juan Perez, Direktur Trading di Monex USA, Washington.
“Jika ekonomi AS mulai goyah, maka tidak ada alasan kuat untuk tetap menaruh kepercayaan jangka panjang pada dolar,” tambah Perez.
Di pasar Asia, yuan offshore China stabil di kisaran 7,18 per dolar AS. Sementara itu, dolar Selandia Baru naik 0,5% menjadi US$0,6045 dan dolar Australia menguat 0,3% ke US$0,6515. Kenaikan terjadi di tengah volume perdagangan yang ringan karena libur nasional di Australia.
Kit Juckes, Kepala Strategi Valuta Asing di Societe Generale, mengatakan bahwa hasil dari pertemuan dagang AS-China akan sangat memengaruhi sentimen pasar secara keseluruhan. “Bagaimana jalannya pembicaraan dagang ini akan sangat menentukan arah pasar,” ujar Juckes.
Menurutnya, mata uang Asia Pasifik seperti yen Jepang, serta dolar Australia dan Selandia Baru, berpotensi mengalami reaksi terbesar terhadap perkembangan dari pembicaraan tersebut.
Dari sisi kebijakan, investor juga menunggu data inflasi AS untuk bulan Mei yang akan dirilis akhir pekan ini. Data ini dinilai penting untuk melihat sejauh mana kebijakan tarif berdampak pada inflasi.
Pejabat The Fed sejauh ini memberi sinyal belum akan terburu-buru memangkas suku bunga. Ketahanan ekonomi yang masih terlihat justru memperkuat posisi mereka.
Berdasarkan data dari LSEG, investor memperkirakan pemangkasan suku bunga oleh The Fed sebesar 25 basis poin baru akan terjadi paling cepat pada Oktober 2025.
Analis ANZ Bank mengatakan, “Mei adalah bulan pertama di mana dampak dari tarif universal 10% Trump terhadap impor non-USMCA mulai terlihat. The Fed ingin melihat data inflasi selama beberapa bulan untuk menilai dampaknya dan, yang paling penting, sejauh mana dampak itu bertahan.”