STOCKWATCH.ID (NEWYORK) – Harga minyak mentah dunia turun lebih dari 1% pada penutupan perdagangan Jumat (2/5/2025) waktu setempat atau Sabtu pagi (3/5/2025) WIB. Harga logam mulia ini mencatat pelemahan mingguan terbesar sejak akhir Maret 2025. Pasar bergerak hati-hati menjelang pertemuan penting OPEC+ akhir pekan ini.
Mengutip CNBC International, harga minyak mentah berjangka Brent melemah 84 sen atau 1,4% dan ditutup di level US$61,29 per barel.
Adapun harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) turun 95 sen atau 1,6% menjadi US$58,29 per barel, di New York Mercantile Exchange.
Pelemahan ini terjadi saat para pelaku pasar menunggu keputusan OPEC+ terkait kebijakan produksi untuk bulan Juni. Pertemuan OPEC+ yang semula dijadwalkan Senin, dipercepat menjadi Sabtu, menurut tiga sumber Reuters. Namun, belum jelas alasan perubahan jadwal ini.
Kelompok OPEC+ terdiri dari negara-negara pengekspor minyak dan sekutunya. Dua sumber menyebutkan bahwa mereka sedang mempertimbangkan untuk menaikkan produksi secara agresif atau tetap dengan peningkatan bertahap.
Apa pun keputusannya, pasar memperkirakan akan ada tambahan pasokan dari OPEC+. Hal ini terjadi di tengah kekhawatiran perlambatan ekonomi global akibat perang dagang AS dan China, yang membuat proyeksi permintaan minyak tahun ini direvisi turun.
“Pasar saat ini sepenuhnya fokus ke OPEC. Bahkan isu perang tarif pun sudah mulai dikesampingkan,” ujar Scott Shelton, pakar energi dari United ICAP.
Reuters sebelumnya melaporkan bahwa Arab Saudi sebagai pemimpin de facto OPEC+ telah memberi sinyal kepada para mitra dan pelaku industri bahwa mereka enggan kembali memangkas pasokan minyak lebih dalam.
Saat ini, OPEC+ memangkas produksi lebih dari 5 juta barel per hari. Namun, sikap hati-hati masih mendominasi karena adanya peluang meredanya ketegangan dagang antara AS dan China.
Beijing pada Jumat mengatakan sedang mengevaluasi proposal dari Washington untuk kembali menggelar pembicaraan. “Ada sedikit optimisme terkait hubungan AS-China, tapi sinyalnya masih sangat awal,” kata Harry Tchilinguirian, kepala riset grup dari Onyx Capital Group.
Meski harga minyak turun, kejatuhan ini tidak terlalu dalam karena pasar saham AS sedang menguat. Analis UBS Giovanni Staunovo mengatakan penguatan Wall Street setelah data tenaga kerja AS menunjukkan kenaikan payroll lebih tinggi dari perkiraan turut menahan penurunan harga minyak.
Ancaman Presiden AS Donald Trump soal sanksi sekunder terhadap negara pembeli minyak Iran juga ikut mengurangi tekanan harga. Langkah ini bisa memperketat pasokan minyak global.
Ancaman tersebut muncul setelah pembicaraan nuklir AS-Iran ditunda, dan dikhawatirkan bisa menyulitkan negosiasi perdagangan AS dengan China, yang merupakan pengimpor utama minyak Iran.
Dari sisi produksi domestik, ada tanda-tanda pertumbuhan output minyak AS mulai melambat. Data dari Baker Hughes menunjukkan jumlah rig minyak yang beroperasi di AS turun empat menjadi 479 unit. Ini merupakan penurunan pertama dalam tiga minggu terakhir dan bisa jadi sinyal positif jangka panjang bagi harga minyak.
Analis minyak dari StoneX, Alex Hodes, menilai bahwa perlambatan produksi ini bisa menjadi faktor pendukung bagi harga minyak dalam jangka waktu yang lebih panjang.