STOCKWATCH.ID (HOUSTON) – Harga minyak mentah dunia menguat pada akhir perdagangan Senin (18/8/2025) waktu setempat atau Selasa pagi (19/8/2025) WIB. Penguatan ini terjadi setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump bertemu Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy di Washington. Pertemuan ini berlangsung setelah pertemuan AS-Rusia di Alaska akhir pekan lalu tidak menghasilkan kesepakatan.
Mengutip CNBC International, kontrak berjangka Brent naik 75 sen atau 1,14% menjadi US$66,60 per barel, di London ICE Futures Exchange.
Adapun harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) bertambah 62 sen atau 0,99% dan ditutup di US$63,42 per barel, di New York Mercantile Exchange. Pekan lalu Brent sempat turun 1,1% dan WTI merosot 1,7%.
Investor kini mencermati dampak politik terhadap pasokan minyak global. Potensi pengetatan sanksi maupun langkah rekonsiliasi bisa memengaruhi arah harga.
“Saya tidak percaya pasar minyak sudah memperhitungkan penuh dividen perdamaian yang bisa membuat harga minyak mentah dan gas Eropa jatuh lebih dalam,” ujar Ole Hansen, analis komoditas Saxo Bank.
Trump dalam pertemuannya dengan Zelenskyy menegaskan Ukraina harus melepaskan harapan untuk merebut kembali Crimea atau bergabung dengan NATO. Sikap ini membuat Trump terlihat semakin sejalan dengan Moskow setelah pertemuannya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Alaska.
Di saat yang sama, Penasihat Perdagangan Gedung Putih Peter Navarro menyebut pembelian minyak Rusia oleh India ikut mendanai perang Moskow di Ukraina. Ia menegaskan kondisi ini harus dihentikan.
“India bertindak sebagai rumah kliring global bagi minyak Rusia, mengubah minyak mentah yang terkena embargo menjadi ekspor bernilai tinggi sambil memberi Moskow dolar yang dibutuhkan,” kata Navarro.
Pernyataan tersebut memicu minat beli di pasar, menurut analis SEB Ole Hvalbye.
Priyanka Sachdeva, analis senior Phillip Nova, juga menilai komentar keras dari AS menambah kekhawatiran. “Pernyataan tajam soal impor minyak Rusia oleh India, ditambah penundaan pembicaraan dagang, kembali memunculkan kekhawatiran bahwa aliran energi tetap terjebak dalam gesekan dagang dan diplomatik, bahkan ketika prospek perdamaian di Ukraina mulai terbuka,” ujarnya.
