STOCKWATCH.ID (NEWYORK) – Harga minyak mentah dunia naik 1% pada akhir perdagangan Rabu (26/3/2025) waktu setempat atau Kamis pagi (27/3/2025) WIB. Kenaikan ini terjadi karena stok minyak mentah dan bahan bakar di AS menurun. Pasar juga khawatir pasokan global akan semakin ketat. Situasi makin rumit dengan ancaman sanksi baru AS terhadap negara-negara yang membeli minyak dari Venezuela.
Mengutip CNBC International, harga minyak mentah berjangka Brent naik 77 sen atau 1,05% menjadi US$73,79 per barel, di London ICE Futures Exchange.
Adapun harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI untuk kontrak April menguat 65 sen atau 0,94% mencapai US$69,65 per barel, di New York Mercantile Exchange.
Selama sesi perdagangan, kedua acuan harga minyak sempat naik lebih dari US$1 per barel.
Administrasi Informasi Energi AS (EIA) melaporkan bahwa stok minyak mentah AS turun 3,3 juta barel menjadi 433,6 juta barel pada pekan yang berakhir 21 Maret. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan perkiraan analis dalam survei Reuters yang hanya memperkirakan penurunan 956.000 barel.
Sementara itu, perdagangan minyak Venezuela ke Tiongkok, pembeli utamanya, terhenti pada Selasa (26/3) setelah Presiden AS Donald Trump mengancam akan memberlakukan tarif terhadap negara yang membeli minyak dari Caracas. Ancaman ini muncul beberapa hari setelah AS juga menjatuhkan sanksi terhadap impor minyak Iran ke Tiongkok.
Trump sebelumnya telah menandatangani perintah eksekutif yang mengizinkan tarif sebesar 25% terhadap semua negara yang membeli minyak dan bahan bakar cair dari Venezuela.
“Pasar khawatir untuk menyentuh minyak Venezuela, sehingga bisa saja kita kehilangan pasokan tersebut,” kata John Kilduff, mitra di Again Capital LLC, New York.
Analis Barclays memperkirakan bahwa diskon harga minyak Venezuela bisa meningkat hingga 35%, sementara kesulitan dalam pemasaran dapat menyebabkan gangguan produksi mencapai 400.000 barel per hari. Jumlah ini lebih dari setengah ekspor minyak Venezuela.
Venezuela berisiko kehilangan pendapatan hingga US$4,9 miliar atau lebih dari 10% dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara itu. Minyak merupakan ekspor utama Venezuela, sementara Tiongkok, sebagai salah satu pembeli terbesar, sudah menjadi target tarif impor AS.
Beberapa pedagang dan kilang di Tiongkok memilih untuk menunggu instruksi dari pemerintah mereka sebelum mengambil keputusan terkait pembelian minyak Venezuela.
“Pasar fisik semakin ketat karena arus perdagangan bergeser akibat serangkaian sanksi AS,” kata Ashley Kelty, analis di Panmure Liberum.
Selain Venezuela, AS juga baru saja menjatuhkan sanksi baru terhadap ekspor minyak Iran. Sanksi ini menargetkan beberapa entitas, termasuk kilang independen di Provinsi Shandong, Tiongkok, serta kapal-kapal yang memasok minyak ke fasilitas tersebut.
Menurut Jorge Leon, kepala analisis geopolitik di Rystad Energy, OPEC+ mungkin meningkatkan produksi untuk mengantisipasi potensi sanksi AS. Hal ini dapat membantu menyeimbangkan hilangnya hingga 1,5 juta barel per hari ekspor Iran tanpa mengganggu harga minyak global.
Namun, harga minyak tertahan setelah AS mencapai kesepakatan dengan Ukraina dan Rusia untuk menghentikan serangan di laut dan terhadap infrastruktur energi. Washington juga sepakat untuk mendorong pelonggaran beberapa sanksi terhadap Moskow.
“Kondisi ini sedikit mengimbangi dampak dari ketegangan di Venezuela,” kata Kilduff dari Again Capital. Ia menambahkan bahwa pasar kemungkinan akan melihat lebih banyak pasokan minyak dari Rusia dalam beberapa waktu ke depan.
Alex Hodes, analis di StoneX, memperkirakan bahwa Tiongkok dan India kemungkinan akan lebih memilih membeli minyak Rusia yang sudah dikenakan sanksi daripada mengambil risiko membeli minyak Venezuela yang lebih diawasi ketat.
Meskipun demikian, pasar tetap bersikap hati-hati terhadap perkembangan lebih lanjut terkait kebijakan perdagangan AS dan dampaknya terhadap pasokan minyak global.