STOCKWATCH.ID (NEWYORK) – Harga minyak mentah dunia akhirnya bangkit dan ditutup naik lebih dari 3% pada penutupan perdagangan Selasa (6/5/2025) waktu setempat atau Rabu pagi (7/7/2025) WIB. Kenaikan ini terjadi setelah harga minyak sempat anjlok ke level terendah dalam empat tahun sehari sebelumnya.
Lonjakan ini dipicu oleh tanda-tanda meningkatnya permintaan dari Eropa dan China. Selain itu, ketegangan geopolitik di Timur Tengah serta aksi beli investor juga mendorong harga naik.
Mengutip CNBC International, harga minyak mentah berjangka Brent naik US$1,92 atau 3,19% ke level US$62,15 per barel, di London ICE Futures Exchange.
Adapun harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) menguat US$1,16 atau 3,43% dan ditutup di US$59,09 per barel, di New York Mercantile Exchange.
Kedua patokan harga ini keluar dari zona oversold secara teknikal setelah sempat menyentuh titik terendah sejak Februari 2021.
Kenaikan harga ini datang setelah keputusan OPEC+ untuk mempercepat peningkatan produksi untuk bulan kedua berturut-turut. Langkah ini sebelumnya sempat memicu kepanikan pasar dan membuat harga minyak anjlok.
“Setelah mengevaluasi langkah OPEC+ terbaru yang mempercepat pelonggaran pemangkasan pasokan, pelaku pasar kini fokus pada perkembangan perdagangan dan kemungkinan tercapainya kesepakatan dagang,” kata Tamas Varga, analis dari PVM.
Varga juga menyoroti meningkatnya risiko geopolitik di Timur Tengah setelah Israel menyerang sasaran Houthi yang didukung Iran di Yaman. Serangan ini disebut sebagai balasan atas serangan ke Bandara Ben Gurion.
Dari China, pasar juga melihat sinyal positif. Konsumen di sana mulai meningkatkan belanja selama libur Hari Buruh. Aktivitas ini ikut memberi dukungan terhadap harga minyak.
“China juga dibuka kembali hari ini, dan sebagai importir minyak terbesar, para pembeli kemungkinan langsung bergerak untuk mengamankan pasokan minyak di harga rendah saat ini,” ujar Priyanka Sachdeva, analis senior di Phillip Nova.
Di sisi lain, nilai tukar dolar AS turun ke posisi terendah dalam sepekan terhadap sekeranjang mata uang. Dolar yang melemah membuat harga minyak jadi lebih murah bagi pembeli yang menggunakan mata uang lain.
Dari Eropa, laporan keuangan perusahaan diperkirakan akan tumbuh 0,4% pada kuartal I-2025. Ini membaik dibanding pekan lalu yang diperkirakan turun 1,7%, menurut data LSEG I/B/E/S.
Sementara itu, Uni Eropa menyatakan tidak akan terburu-buru menyepakati kesepakatan tarif dengan Amerika Serikat jika syaratnya dianggap tidak adil.
Komisi Eropa juga mengusulkan sanksi tambahan kepada Rusia. Sanksi itu termasuk penambahan individu dan lebih dari 100 kapal yang terlibat dalam “shadow fleet” Rusia ke dalam paket sanksi ke-17 sejak invasi ke Ukraina pada 2022.
Dari Amerika Serikat, mantan Presiden Donald Trump mengatakan akan mengumumkan tarif farmasi dalam dua minggu ke depan. Langkah ini disebut-sebut ikut mengguncang pasar keuangan global dalam beberapa bulan terakhir.
Defisit perdagangan AS pun melebar ke rekor tertinggi pada Maret, seiring lonjakan impor barang sebelum tarif diberlakukan. Kondisi ini menyebabkan PDB kuartal pertama turun untuk pertama kalinya dalam tiga tahun.
“Kami memperkirakan ekonomi AS tidak akan mengalami resesi penuh tahun ini, karena kesepakatan dagang akan tercapai dan tarif akan berkurang. Namun, pertumbuhan PDB diperkirakan melambat dari 2,8% tahun lalu menjadi sekitar 1,5% tahun ini,” tulis Solita Marcelli, Chief Investment Officer Americas, UBS Global Wealth Management.
Federal Reserve AS diprediksi akan mempertahankan suku bunga pada Rabu. Tarif dan ketidakpastian ekonomi membuat langkah penurunan suku bunga jadi lebih hati-hati.
Penurunan suku bunga biasanya mendorong pertumbuhan ekonomi dan permintaan minyak. Namun di sisi lain, tarif bisa menaikkan harga, dan Fed mungkin perlu menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi.