STOCKWATCH.ID (NEWYORK) – Harga minyak mentah dunia nyaris stagnan pada penutupan perdagangan Kamis (24/4/2025) waktu setempat atau Jumat pagi (25/4/2025) WIB. Kondisi ini terjadi karena pasar dibayangi berbagai sentimen ekonomi dan geopolitik yang saling bertentangan.
Mengutip CNBC International, harga minyak mentah berjangka Brent naik tipis 10 sen atau 0,2% menjadi US$66,22 per barel, di London ICE Futures Exchange.
Adapun harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) naik 16 sen atau 0,3% ke level US$62,43 per barel, di New York Mercantile Exchange.
Investor sedang menimbang kemungkinan peningkatan produksi dari OPEC+, data ekonomi yang beragam, sinyal kebijakan tarif dari Gedung Putih, serta perkembangan perang Rusia-Ukraina.
Di Amerika Serikat, jumlah klaim tunjangan pengangguran naik sedikit pekan lalu. Hal ini menandakan pasar tenaga kerja masih tangguh meski ekonomi diguncang tarif barang impor.
Perusahaan-perusahaan di AS mulai menaikkan harga dan memangkas proyeksi keuangan karena biaya yang naik akibat perang dagang Presiden Donald Trump. Kondisi ini juga mempengaruhi rantai pasok global.
Presiden Federal Reserve Bank of Cleveland, Beth Hammack, menyatakan bahwa bank sentral harus bersabar soal kebijakan moneter. Ia tidak menutup kemungkinan adanya perubahan pada Juni jika data menunjukkan perlunya tindakan.
Para analis menilai bahwa kebijakan tarif Trump yang tidak konsisten telah mencegah bank sentral menaikkan atau menurunkan suku bunga. Kenaikan suku bunga biasanya dilakukan untuk meredam inflasi, sementara penurunan suku bunga bertujuan mendorong pertumbuhan saat ekonomi lesu.
Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, mengatakan bahwa tarif tinggi antara AS dan Tiongkok tidak bisa dipertahankan. Ia memberi sinyal kemungkinan pelonggaran ketegangan dagang yang selama ini memicu kekhawatiran resesi.
Di Eropa, sentimen bisnis di Jerman justru membaik pada April. Namun, ekspektasi ke depan masih suram karena kekhawatiran terhadap tarif dari AS.
Ketegangan geopolitik juga ikut berperan. Presiden Donald Trump sempat mengecam Presiden Rusia Vladimir Putin setelah Rusia meluncurkan serangan ke Kyiv dengan rudal dan drone. “Vladimir, BERHENTILAH!” kata Trump.
Sehari sebelumnya, Trump menuduh Presiden Ukraina menghambat proses perdamaian. Jika perang mereda, minyak Rusia bisa kembali mengalir ke pasar global.
Namun banyak negara Eropa masih berupaya menghentikan impor minyak Rusia. Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, menyatakan bahwa pihaknya akan mempresentasikan peta jalan untuk menghentikan ketergantungan pada bahan bakar fosil Rusia sebelum 2027.
Rusia merupakan anggota OPEC+. Beberapa negara anggota dilaporkan mendorong peningkatan produksi selama dua bulan berturut-turut mulai Juni.
“Mereka akan membanjiri pasar dengan minyak di saat ekonomi global masih goyah akibat tarif dan perang dagang antara AS dan Tiongkok,” ujar Bob Yawger, Direktur Energy Futures di Mizuho.
“OPEC+ benar-benar memilih waktu yang buruk untuk menambah pasokan,” tegas Yawger.
Kementerian Energi Kazakhstan juga menyoroti pentingnya keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Namun, negara itu dikritik karena memproduksi minyak melebihi kuota yang ditetapkan OPEC+.
“Langkah membandel ini bisa mengganggu keseimbangan minyak dunia. Lebih penting lagi, ini menunjukkan bahwa Kazakhstan secara de facto sudah tak patuh sebagai anggota OPEC+, meski secara resmi masih bergabung,” ujar analis PVM, Tamas Varga.