STOCKWATCH.ID (NEWYORK) – Harga minyak mentah dunia mengalami penurunan pada penutupan perdagangan Senin (6/1/2025) waktu setempat atau Selasa pagi (7/1/2025) WIB. Penurunan ini terjadi setelah sempat mencatatkan kenaikan, dipicu oleh data ekonomi yang lemah dari Amerika Serikat dan Jerman.
Pada awal perdagangan, harga minyak menunjukkan potensi kenaikan tertinggi dalam 12 minggu terakhir. Penurunan nilai dolar AS dan cuaca dingin di AS meningkatkan permintaan energi untuk pemanasan. Namun, setelah lima hari berturut-turut mengalami kenaikan, harga minyak mentah dunia turun.
Mengutip CNBC International, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Februari 2025 terpangkas 40 sen atau 0,54%, menjadi US$73,56, di New York Mercantile Exchange.
Adapun harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Februari 2025 berkurang 21 sen atau 0,27% mencapai US$76,30 per barel, di London ICE Futures Exchange.
Penurunan harga ini mengeluarkan kedua jenis minyak tersebut dari wilayah overbought untuk pertama kalinya dalam tiga hari terakhir. Pada Jumat, harga Brent tercatat di level tertinggi sejak 14 Oktober, sementara WTI mencapai level tertinggi sejak 11 Oktober.
Kenaikan harga minyak sebelumnya didorong oleh harapan stimulus fiskal untuk mengatasi perekonomian China yang lesu. Selain itu, minat terhadap perdagangan energi juga meningkat, dengan kontrak berjangka WTI mencapai 1,933 juta kontrak pada 3 Januari, tertinggi sejak Juni 2023.
Analis dari Eurasia Group menyatakan bahwa pasar minyak memasuki tahun 2025 dengan pasokan dan permintaan yang seimbang. Namun, harga minyak tetap dipengaruhi oleh ketegangan geopolitik yang terus berlanjut. Permintaan yang rendah, terutama dari AS dan kemungkinan OPEC, diperkirakan akan tertinggal dari pasokan baru.
Data ekonomi AS menunjukkan penurunan pesanan barang manufaktur pada November, terutama karena lemahnya permintaan pesawat komersial. Belanja bisnis untuk peralatan juga menurun pada kuartal keempat.
Di Jerman, inflasi tahunan Desember lebih tinggi dari perkiraan, didorong oleh kenaikan harga makanan dan penurunan harga energi yang lebih kecil dibandingkan bulan sebelumnya. Bank sentral biasanya menaikkan suku bunga untuk mengatasi inflasi, yang bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi.
Sebelumnya, harga minyak sempat naik akibat badai musim dingin yang melanda AS, menyebabkan harga gas alam melonjak 11%. Penurunan 1,1% nilai dolar AS juga memberikan dukungan bagi harga minyak.
Namun, dolar AS kembali menguat setelah Presiden terpilih Donald Trump membantah laporan yang menyebutkan bahwa dia berencana mengenakan tarif impor terbatas. Dolar AS yang lebih lemah membuat barang berharga dolar, seperti minyak, lebih murah bagi pembeli yang menggunakan mata uang lain.
Di China, yuan ditutup pada level terlemah dalam 16 bulan terakhir terhadap dolar AS, dipengaruhi oleh kekhawatiran perdagangan. Sebagai tanda adanya harapan permintaan yang lebih kuat, Saudi Aramco, eksportir minyak terbesar dunia, menaikkan harga minyak untuk pembeli Asia pada Februari, untuk pertama kalinya dalam tiga bulan terakhir.