STOCKWATCH.ID (NEWYORK) – Harga minyak mentah dunia turun tipis pada penutupan perdagangan Selasa (20/5/2025) waktu setempat atau Selasa pagi (21/5/2025) WIB. Penurunan ini terjadi karena pelaku pasar masih mencermati arah negosiasi antara Amerika Serikat dan Iran, serta tanda-tanda melemahnya permintaan global.
Mengutip CNBC International, harga minyak mentah berjangka Brent turun 16 sen atau sekitar 0,24% ke level US$65,38 per barel, di London ICE Futures Exchange.
Adapun harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) melemah 13 sen atau 0,21% dan ditutup di US$62,56 per barel, di New York Mercantile Exchange.
Pasar masih diliputi ketidakpastian soal pembicaraan nuklir antara AS dan Iran. Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, mengaku ragu apakah perundingan itu akan mencapai kesepakatan.
Menurut laporan Mehr News, Iran masih menimbang tawaran untuk melanjutkan ke putaran kelima pembicaraan. Jika sanksi dicabut, Iran bisa menambah ekspor minyak hingga 300.000 sampai 400.000 barel per hari.
Analis dari StoneX, Alex Hodes, menyebut bahwa potensi kenaikan ekspor Iran ini bisa berdampak pada suplai global.
Harga minyak juga terbebani oleh pernyataan Presiden AS, Donald Trump, yang belum siap menerapkan sanksi baru terhadap Rusia. Di sisi lain, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Ukraina disebut akan segera memulai pembicaraan damai.
Namun, analis komoditas dari SEB, Bjarne Schieldrop, menyatakan bahwa perdamaian dalam waktu dekat masih sulit tercapai. “Penyelesaian perang Rusia-Ukraina secara langsung tampaknya masih belum mungkin. Jadi, meskipun itu bisa membuka jalan bagi lebih banyak minyak Rusia ke pasar, dampaknya belum jelas karena Rusia masih terikat kewajiban OPEC+,” ujarnya.
Faktor lain yang menekan harga adalah data ekonomi terbaru dari China. Pertumbuhan output industri dan penjualan ritel negara tersebut menunjukkan perlambatan.
Analis memperkirakan permintaan bahan bakar dari China akan melambat dalam waktu dekat. Padahal, China adalah importir minyak terbesar di dunia.
Meski begitu, Goldman Sachs melihat adanya peningkatan arus perdagangan China pada Senin malam, setelah adanya jeda tarif selama 90 hari antara AS dan China.
Di tengah kondisi yang rumit ini, sentimen pasar disebut masih sangat dipengaruhi oleh berita utama dan perkembangan geopolitik.
“Di luar faktor makroekonomi, geopolitik, dan kondisi pasar saat ini, sulit untuk menebak kapan ‘suasana hati’ pasar akan berubah drastis,” tulis analis Tamas Varga kepada kliennya.