STOCKWATCH.ID (HOUSTON) – Harga minyak dunia kembali melemah pada penutupan perdagangan Kamis (6/11/2025) waktu setempat atau Jumat pagi (7/11/2025) WIB. Pelemahan ini seiring kekhawatiran pasar terhadap potensi kelebihan pasokan dan lemahnya permintaan di Amerika Serikat, negara konsumen minyak terbesar di dunia.
Mengutip CNBC International, kontrak berjangka Brent turun 0,22% atau 14 sen menjadi US$63,38 per barel, di London ICE Futures Exchange.
Adapun harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) susut 0,29% atau 17 sen ke posisi US$59,43 per barel, di New York Mercantile Exchange.
Penurunan ini memperpanjang tren negatif harga minyak global selama tiga bulan berturut-turut hingga Oktober. Sentimen pasar masih dibayangi kekhawatiran kelebihan pasokan akibat peningkatan produksi dari OPEC dan sekutunya (OPEC+), ditambah pertumbuhan produksi dari negara non-OPEC.
“Pasar terus dihantui oleh kelebihan pasokan yang sudah lama diprediksi, dan itu menjadi tekanan besar bagi harga,” ujar John Kilduff, mitra di Again Capital.
Selain faktor pasokan, lemahnya permintaan juga ikut menekan harga. JPMorgan dalam catatan risetnya menyebut, permintaan minyak global hingga 4 November hanya naik 850.000 barel per hari, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sebesar 900.000 barel per hari.
“Indikator frekuensi tinggi menunjukkan konsumsi minyak di AS masih lemah,” tulis JPMorgan, merujuk pada rendahnya aktivitas perjalanan dan menurunnya pengiriman kontainer.
Dalam laporan sebelumnya, Badan Informasi Energi AS (EIA) melaporkan stok minyak mentah AS naik 5,2 juta barel menjadi 421,2 juta barel pada pekan lalu.
“Rendahnya tingkat operasional kilang menunjukkan permintaan minyak mentah di AS tidak kuat saat ini, terutama karena banyak kilang sedang dalam masa perawatan. Kondisi ini menjadi beban fundamental bagi harga,” kata Kilduff.
Tekanan tambahan datang dari langkah Arab Saudi yang memangkas harga jual minyak untuk pembeli di Asia pada Desember mendatang. Langkah ini menandakan pasar yang kelebihan pasokan di tengah peningkatan produksi OPEC+.
“Kami memperkirakan tekanan turun pada harga minyak akan terus berlanjut. Ini mendukung proyeksi kami yang lebih rendah dibanding konsensus, yakni US$60 per barel pada akhir 2025 dan US$50 per barel pada akhir 2026,” tulis Capital Economics dalam laporannya.
Meski begitu, sebagian penurunan harga tertahan oleh kekhawatiran gangguan pasokan akibat sanksi terbaru terhadap perusahaan minyak besar Rusia dua pekan lalu. Reuters melaporkan operasi Lukoil di luar negeri kini menghadapi kesulitan akibat sanksi tersebut.
“Ada sedikit dampak pada harga dari sanksi ini, tapi tidak terlalu besar,” ujar Jorge Montepeque dari Onyx Capital Group. “Berdasarkan data, seharusnya dampaknya lebih besar, tapi pasar masih belum yakin akan hal itu,” tambahnya.
