STOCKWATCH.ID (NEWYORK) – Harga minyak dunia melonjak pada penutupan perdagangan Kamis (20/6/2024) waktu setempat atau Jumat pagi (21/6/2024) WIB. Minyak mentah AS diperdagangkan di atas US$82 per barel, menuju kenaikan mingguan kedua berturut-turut. Kenaikan ini dipicu oleh penurunan persediaan minyak dan bensin.
Mengutip CNBC International, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Juli naik 60 sen atau 0,74% menjadi US$82,17 per barel, di New York Mercantile Exchange.
Adapun harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Agustus 2024, menguat 64 sen atau 0,75% mencapai US$85,71 per barel, di London ICE Futures Exchange.
Data dari Administrasi Informasi Energi AS menunjukkan bahwa persediaan minyak mentah turun sebesar 2,5 juta barel pekan lalu. Penurunan ini melampaui perkiraan para analis yang disurvei oleh Reuters. Persediaan bensin juga turun 2,3 juta barel, sedangkan analis memperkirakan kenaikan sebesar 620.000 barel. Selain itu, persediaan distilat, yang mencakup diesel, turun sebesar 1,7 juta barel, berlawanan dengan perkiraan kenaikan 261.000 barel.
Patrick de Haan, kepala analisis minyak di GasBuddy, menyebut penurunan ini sebagai “trifecta yang salah,” memperingatkan bahwa harga di pompa bensin kemungkinan akan naik sebagai akibatnya.
Analis JPMorgan dalam catatan Kamis mengatakan bahwa peningkatan musiman dalam permintaan minyak, aktivitas kilang, risiko cuaca, dan pemotongan produksi OPEC+ hingga kuartal ketiga akan menyebabkan pasar yang lebih ketat karena persediaan menipis. Bank investasi ini memprediksi Brent akan mencapai US$90 per barel pada September.
Ryan McKay, ahli strategi komoditas senior di TD Securities, menyebut bahwa minyak mentah menunjukkan ketahanan dengan momentum naik yang kuat. Namun, ia juga memperingatkan bahwa reli ini bisa mereda. Jika harga minyak AS turun di bawah US$80,33 dan Brent jatuh di bawah US$84,92, McKay mengatakan bahwa penasihat perdagangan komoditas mungkin akan berhenti membeli dan menjual sebagian dari posisi mereka.
Tensi di Timur Tengah kembali memanas, dengan Israel dan kelompok milisi Hezbollah yang didukung Iran saling mengancam perang. Militer Israel mengumumkan rencana ofensif di Lebanon pada Selasa, sementara pemimpin Hezbollah, Hassan Nasrallah, memperingatkan bahwa mereka akan berperang tanpa aturan jika konflik meletus.
Pada April, harga minyak melonjak ke level tertinggi tahunan saat Iran dan Israel hampir berperang. Namun, fokus pedagang kembali ke fundamental pasar setelah ketegangan mereda. Helima Croft, kepala strategi komoditas global di RBC Capital Markets, mengingatkan bahwa konfrontasi Israel-Hezbollah bisa memicu keterlibatan langsung Iran dalam perang, mengingat dukungan kuat Teheran untuk Hezbollah.