STOCKWATCH.ID (JAKARTA) – Penghimpunan dana di pasar modal Indonesia tercatat sebesar Rp120 triliun pada semester pertama 2024, dengan total emiten baru sebanyak 26 perusahaan. Angka tersebut berkurang sekitar 22,1% dibandingkan perolehan pada periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp154,13 triliun.
Menurut Inarno Djajadi, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif & Bursa Karbon Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penggalangan dana publik dari pasar modal didominasi oleh penerbitan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk (EBUS) yang mencapai Rp80,13 triliun. Itu setara dengan 66,78% dari total penawaran umum. Diikuti oleh penawaran umum terbatas (PUT) yang tercatat sebesar Rp36,30 triliun, atau 30,25%, Paling buntut adalah kontribusi Penawaran Umum Perdana atau Initial Public Offering (IPO) saham senilai Rp3,56 triliun, atau hanya 2,97% dari total nilai penawaran umum.
Walau begitu, Inarno tetap optimistis, penghimpunan dana di pasar modal Indonesia tahun ini dapat mencapai target Rp200 triliun pada semester II-2024. Memang, jumlah tersebut masih lebih kecil sekitar 17% bila dibandingkan dengan raihan setahun lalu yang mencapai Rp240 triliun.
Inarno mengatakan, berdasarkan data terbaru terungkap bahwa masih ada 79 perusahaan yang berencana melaksanakan IPO. Total nilai penawaran umum mencapai Rp11,08 triliun. Selain itu, tujuh perusahaan akan melakukan penawaran umum terbatas dengan nilai mencapai Rp3,88 triliun. Di sisi lain, terdapat 17 perusahaan yang hendak menerbitkan EBUS senilai Rp15,06 triliun. Secara keseluruhan, nilai pipeline ini menyentuh Rp30,02 triliun.
“Informasi historis dalam lima tahun terakhir menunjukkan bahwa penerbitan EBUS mendominasi jumlah penawaran umum dengan total 84 penerbitan. Sementara itu, penerbitan IPO saham sebanyak 25 kali, menempati posisi ketiga, sedangkan penawaran PUT sebanyak 11 kali merupakan yang tertinggi keempat,” ujar Inarno di Jakarta, Rabu (10/7/2024).
Menanggapi sepinya minat penggalangan dana di pasar modal, Bursa Efek Indonesia (BEI) ikut buka suara. Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI), Jeffrey Hendrik, mengatakan, berdasarkan data Ernst and Young, jumlah IPO dan nilai fund raised IPO global mengalami penurunan masing-masing sebesar -12% dan -16% (yoy) pada semester pertama 2024 dibandingkan dengan semester pertama 2023. Penurunan ini terutama terjadi di wilayah Asia Pasifik, di mana nilai fund raised IPO turun sebesar -73% (yoy).
“Melemahnya sentimen pasar IPO dipengaruhi oleh beberapa faktor,” terang Jeffrey. Itu seperti kenaikan tingkat suku bunga yang mengakibatkan turunnya likuiditas di pasar keuangan global. Selain itu, periode pemilu di lebih dari 60 negara, pelemahan ekonomi di wilayah seperti China dan Hong Kong, serta risiko geopolitik yang meningkatkan volatilitas ekonomi dunia.
“Kita tentu berharap kondisi akan membaik di semester 2,” pungkasnya.
Di tempat terpisah, Direktur Utama BEI, Iman Rahman, menyatakan bahwa ada sekitar 30 perusahaan dalam pipeline untuk IPO pada semester 2 2024. BEI berharap bisa mencapai target 60 perusahaan IPO tahun ini. Adapun hingga saat ini, lanjut dia, sudah 32 perusahaan baru yang tercatat di BEI.
Menurut Iman, BEI tetap proaktif dalam mendukung calon emiten, meskipun penjaminan IPO ada di perusahaan sekuritas. “BEI juga memiliki tim khusus yang membantu calon emiten dengan edukasi gratis,” imbuhnya.
Ia menegaskan, saat ini belum ada BUMN atau anak perusahaan BUMN dalam pipeline IPO. “Mungkin perlu menunggu, wait and see, ada pemerintahan baru,” tukasnya.
Meski demikian, Iman tetap meyakini bahwa tahun depan BUMN dan anak perusahaannya bisa mulai masuk dalam pipeline IPO. “Mudah-mudahan tahun depan akan ada BUMN dan anak BUMN yang masuk pipeline,” harapnya.