STOCKWATCH.ID (NEWYORK) – Harga minyak mentah dunia kompak turun pada penutupan perdagangan Kamis (15/5/2025) waktu setempat atau Jumat pagi (16/7/2025) WIB. Pasar tertekan setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengungkapkan adanya kemajuan dalam negosiasi nuklir dengan Iran.
Mengutip CNBC International, harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Juli turun 2,36% dan ditutup di level US$64,53 per barel., di London ICE Futures Exchange.
Adapun harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) terkoreksi 2,42% ke posisi US$61,62 per barel, di New York Mercantile Exchange.
Pernyataan Trump disampaikan saat kunjungan ke Doha, Qatar. Ia mengklaim Amerika Serikat semakin dekat mencapai kesepakatan nuklir dengan Iran.
“Kami sedang dalam negosiasi yang sangat serius dengan Iran untuk perdamaian jangka panjang,” ujar Donald Trump.
Komentar ini muncul tak lama setelah penasihat senior Pemimpin Tertinggi Iran menyatakan kepada NBC News bahwa Teheran bersedia menandatangani kesepakatan nuklir dengan beberapa syarat, termasuk pencabutan sanksi ekonomi.
Isu kesepakatan ini langsung mempengaruhi pasar minyak. Para pelaku pasar menilai, jika Iran dan AS mencapai kesepakatan, maka potensi ekspor minyak mentah Iran bisa meningkat signifikan.
“Perkembangan soal kemungkinan kesepakatan nuklir ini adalah satu-satunya penyebab lemahnya harga pagi ini,” kata analis PVM, Tamas Varga, kepada CNBC lewat email.
“Kalau kesepakatan ini benar-benar terjadi dan Iran menghentikan pengayaan uranium tingkat senjata serta kesepakatannya dijalankan secara efektif—meskipun sulit dipercaya—ekspor minyak Iran bisa naik sampai 1 juta barel per hari,” lanjutnya.
Namun menurut Varga, dampak penurunan harga bisa tertahan jika OPEC+ memperlambat rencana menambah pasokan minyak ke pasar.
OPEC+ sendiri belakangan mengejutkan pasar dengan terus menaikkan produksi. Dipimpin Arab Saudi, kelompok ini sepakat menambah pasokan sebesar 411.000 barel per hari pada bulan Juni, setelah sebelumnya juga menaikkan produksi di bulan Mei dengan jumlah yang sama.
Di sisi lain, Iran mengalami krisis ekonomi berat sejak AS keluar dari kesepakatan nuklir tahun 2018. Kesepakatan bernama Joint Comprehensive Plan of Action itu sebelumnya ditandatangani pada 2015 oleh Iran bersama AS, Rusia, China, Uni Eropa, dan Inggris di bawah pemerintahan Presiden Barack Obama.
Setelah mengalami tekanan ekonomi selama bertahun-tahun, krisis biaya hidup, serta gejolak politik, Iran kehilangan sekutu pentingnya di Suriah dan juga mengalami kemunduran di Lebanon setelah banyak pemimpin Hezbollah tewas.
Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, yang dulu keras menolak dialog dengan AS, kini disebut mulai berubah sikap. Sejumlah pejabat tinggi Iran dikabarkan berupaya membujuknya agar bersedia kembali bernegosiasi demi kelangsungan rezim.