STOCKWATCH.ID (JAKARTA) – DBS Group Research merilis proyeksi ekonomi triwulan ketiga 2025 dengan fokus pada resiliensi Indonesia di tengah disrupsi global. Proyeksi ini bersamaan dengan keputusan Bank Indonesia (BI) yang memangkas suku bunga menjadi 5% dalam Rapat Dewan Gubernur pada Rabu (20/8/2025).
Menurut Senior Economist DBS Bank, Radhika Rao, pemangkasan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin ini menandai penurunan kedua bulan beruntun. Ini sejalan dengan proyeksi DBS Group Research yang mengantisipasi ruang kebijakan moneter akomodatif.
“Sejumlah indikator aktivitas dengan frekuensi tinggi menunjukkan pelemahan momentum pertumbuhan di paruh kedua tahun ini, ditambah situasi perdagangan global yang cukup menantang, membuat BI memilih untuk tetap menjaga kebijakan yang mendukung pertumbuhan. Keputusan ini diambil di tengah inflasi yang masih sesuai target dan rupiah yang relatif stabil,” ujar Radhika dalam keterangan resmi, Kamis (21/8/2025).
Selain kebijakan BI, analisis DBS Group Research memberikan gambaran lebih dalam mengenai kondisi mekroekonomi, baik dari dalam maupun luar negeri, yang memengaruhi stabilitas domestik. Gambaran tersebut tertuang dalam (5) lima poin penting.
Pertama, kondisi ekonomi Amerika Serikat (AS) penuh tekanan. Ekonomi AS saat ini menghadapi berbagai risiko kompleks, termasuk inflasi yang masih tinggi, dampak lanjutan tarif perdagangan internasional, pengetatan kebijakan imigrasi, kebutuhan stimulus fiskal, lonjakan harga aset, serta tekanan politik terhadap The Fed dalam pengambilan keputusan moneter.
Berdasarkan analisis DBS Group Research, pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan melambat pada paruh kedua 2025. The Fed diproyeksikan akan menurunkan suku bunga sebesar 50 basis poin pada semester II 2025, dengan kemungkinan pemangkasan tambahan 50 basis poin pada 2026.
Kedua, dampak tarif AS terhadap Indonesia relatif terbatas. Meskipun sebagian besar ekspor tekstil, produk furnitur, dan alas kaki Indonesia ditujukan ke pasar AS, dampak tarif terhadap Indonesia diperkirakan lebih kecil dibandingkan negara ASEAN lainnya.
DBS Group Research mencatat beberapa faktor kunci yang mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia, antara lain, meredanya inflasi memberikan ruang bagi kebijakan moneter lebih fleksibel. Peningkatan belanja kesejahteraan dan pemerintah mendorong konsumsi domestik. Arus masuk Foreign Direct Investment (FDI) yang positif mencerminkan kepercayaan investor internasional.
“Indonesia memiliki posisi yang relatif lebih baik dalam menghadapi gelombang tarif baru dari AS. Struktur ekonomi yang beragam memberikan ketahanan yang diperlukan,” ujar Radhika.
Selain itu, DBS Group Research menekankan pentingnya negosiasi kesepakatan perdagangan bebas dengan mitra strategis, termasuk penghapusan hambatan tarif bagi lebih dari 99% produk Indonesia ke pasar AS, dukungan kebijakan domestik yang kuat, serta pengelolaan valuta asing secara komprehensif.
Indonesia juga disarankan memanfaatkan peluang dari pergeseran arus perdagangan global untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah dinamika internasional.
Ketiga, inflasi terkendali di kisaran 3-4%, BI Dovish di tengah kebijakan The Fed yang melonggar. Inflasi di Indonesia diproyeksikan tetap berada dalam kisaran target BI sepanjang tahun 2025 dan 2026.
BI diperkirakan akan menyesuaikan kebijakan moneternya secara bertahap dengan mempertimbangkan nilai tukar rupiah, arah suku bunga The Fed, serta target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5%.
Meskipun defisit fiskal masih relatif tinggi, DBS Group Research optimis defisit tersebut akan tetap di bawah 3% dari produk domestik bruto (PDB). Untuk tahun 2026, pertumbuhan ekonomi diperkirakan meningkat hingga 5,4% secara tahunan (year-on-year), tertinggi sejak tahun 2018, didukung oleh perbaikan penerimaan negara.
Sementara itu, dengan The Fed AS yang juga diperkirakan akan melonggarkan kebijakan moneter pada bulan depan, BI kemungkinan akan mempertahankan sikap dovish selama kuartal IV 2025.
Para pembuat kebijakan akan terus mendorong agar transmisi dari pemangkasan suku bunga sebesar 100 basis poin yang telah dilakukan sepanjang tahun ini dapat tersalurkan secara penuh ke dalam perekonomian.
Keempat, FDI diperkirakan memulih, seiring pemangkasan suku bunga dan stabilisasi rupiah imbal hasil obligasi Indonesia mulai menurun seiring dengan ekspektasi pemangkasan suku bunga. Tren ini didukung oleh limpahan permintaan dari Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), surplus likuiditas, serta minat investor terhadap instrumen berimbal hasil tinggi.
Permintaan obligasi terkonsentrasi pada tenor pendek hingga menengah, sementara imbal hasil obligasi 10 tahun juga mengalami penurunan meskipun kinerjanya tertinggal dibanding tenor yang lebih pendek.
Pergerakan ini menunjukkan respons pasar obligasi terhadap ekspektasi kebijakan moneter yang lebih akomodatif serta kondisi likuiditas yang memadai di pasar domestik. Kondisi tersebut membuka ruang bagi BI untuk melakukan penyesuaian kebijakan suku bunga sesuai perkembangan ekonomi.
Melengkapi prospek positif tersebut, Equities Specialist DBS Group Research Maynard Arif mengungkapkan bahwa pasar saham Indonesia menunjukkan rotasi menarik ke saham-saham big caps berkualitas yang dinilai lebih tahan terhadap volatilitas global.
Meskipun indeks LQ45 dan IDX30 mengalami kinerja di bawah rata-rata hingga Juli 2025, valuasi pasar saat ini masih relatif menarik dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, sehingga membuka peluang bagi investor yang mencari stabilitas sekaligus potensi pertumbuhan.
Aliran modal asing (FDI) yang sempat mereda diperkirakan akan kembali mengalir ke pasar domestic pada paruh kedua tahun ini, seiring adanya ekspektasi pemangkasan suku bunga lebih lanjut dan stabilisasi nilai tukar rupiah. Kendati demikian, investor diimbau untuk tetap waspada terhadap potensi volatilitas jangka pendek yang mungkin muncul akibat dinamika kebijakan moneter global dan risiko geopolitik.
Kelima. USD/IDR diramal akan mengalami konsolidasi. Pergerakan USD/IDR menunjukkan koreksi signifikan dalam dua bulan terakhir setelah mencapai puncak saluran harga, sejalan dengan perkembangan pasar global dan sentimen terhadap kebijakan moneter Amerika Serikat.
Menanggapi fenomena tersebut, DBS Group Research memproyeksikan bahwa dalam jangka pendek, nilai tukar USD/IDR akan mengalami konsolidasi, mencerminkan stabilisasi pasar sekaligus adaptasi terhadap ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed dan kondisi ekonomi domestik Indonesia.