STOCKWATCH.ID (JAKARTA) – Pasar saham Indonesia mendapat dorongan segar dari maraknya aksi buyback emiten besar. Head of Equity Research Mandiri Sekuritas, Adrian Joezer, menyampaikan pandangan tersebut dalam acara Mandiri Economic Outlook Q3 2025 di Jakarta, Kamis (28/8).
Ia menilai valuasi saham saat ini berada di level yang jarang serendah ini. Kondisi tersebut dimanfaatkan banyak perusahaan untuk melakukan buyback, apalagi ada relaksasi aturan yang memperbolehkan buyback tanpa perlu menggelar RUPS.
“Kalau kita lihat data year to date 2025 sampai Juli, jumlah perusahaan yang sudah mengumumkan buyback sekitar 50 perusahaan. Angka ini lebih tinggi dibanding tahun penuh 2024 yang hanya 32 perusahaan, dan 2023 sebanyak 36 perusahaan. Jumlah ini bahkan mendekati level tertinggi sejak pandemi COVID-19 tahun 2020, saat ada sekitar 73 perusahaan melakukan buyback,” jelas Adrian.
Ia mengatakan langkah ini ikut membantu terjadinya rebound di pasar. Banyak konglomerasi dan emiten besar dengan kas berlimpah memanfaatkan valuasi yang tertekan untuk membeli kembali sahamnya.
Menurut Adrian, valuasi pasar modal Indonesia sudah sangat rendah. “IHSG saat ini berada di sekitar 11,6 kali PE, sedangkan IDX30 di level sekitar 10,6 kali PE. Dengan valuasi serendah ini, katalis positif sekecil apa pun bisa menggerakkan sentimen dan mendorong rebound,” ujarnya.
Dari sisi imbal hasil, saham unggulan tetap menarik. Adrian menyebut dividend yield IHSG saat ini berada di level 5,6%, sementara IDX30 sekitar 5,9%. “Jarang sekali kita melihat dividend yield blue chip berada di atas risk-free rate. Saat ini bond yield 10 tahun ada di 6,3% dan SRBI terakhir dilelang di kisaran 5,0%. Kondisi ini membuka ruang valuasi saham untuk catch up,” terangnya.
Ia menekankan katalis utama bagi pergerakan pasar di semester II 2025 adalah likuiditas yang mengejar imbal hasil lebih baik. Investor asing juga mulai melirik kembali Indonesia meski posisinya masih rendah. “Kalau ada katalis positif dari sisi kebijakan moneter atau fiskal, Indonesia bisa semakin menarik karena secara valuasi murah dan dividend yield tinggi, termasuk yang tertinggi di pasar global,” ungkap Adrian.
Adrian juga menyoroti tren pertumbuhan laba emiten. Menurutnya, meski sempat ada kekhawatiran revisi laba setelah laporan kuartal II, pasar sudah mengantisipasi lebih dulu. “Walaupun earnings revision diturunkan, pasar tetap rebound karena sudah expect sebelumnya. Tren revisi laba ke bawah ini bukan hanya di Indonesia, tapi hampir di seluruh bursa Asia karena pertumbuhan global yang melambat,” katanya.
Lebih jauh, ia melihat pasar kini sudah memproyeksikan kinerja emiten melampaui 2025. “Kami expect di 2026 earnings growth akan recovering ke sekitar 9,5%. Tahun ini memang lebih menantang karena harga komoditas turun. Namun jika di luar komoditas, pertumbuhan laba bisa tetap sekitar 9% tahun depan,” jelas Adrian.
Ia menutup dengan optimisme. Menurutnya, valuasi rendah ditambah peluang kebijakan fiskal dan moneter yang lebih ekspansif bisa menjadi katalis positif bagi IHSG.
